Oleh : Fauzan Hidayat
Pertama sekali dalam sejarah pemerintah Indonesia, Presiden
merekrut para staf khususnya banyak dari kalangan anak muda. Para pemuda yang
disebut sebagai representasi dari kalangan milenial ini digadang-gadang akan memberikan
inovasi dalam kebijakan presiden di masa yang akan datang. Mereka adalah
pemuda-pemuda yang berprestasi baik dalam bidang akademiknya maupun kiprahnya
pasca menyelesaikan pendidikan.
Sontak hal ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pastinya,
dilihat dari aspek politis bahwa pihak yang pro selalu berasal dari mereka yang
berdiri dibelakang pemerintah dan mendukung apapun kebijakan yang dilakukan
pemerintah. Sedangkan pihak yang kontra juga selalu berasal dari barisan
oposisi yang cenderung kritis terhadap apapun yang menjadi langkah yang diambil
pemerintah untuk kemajuan bangsa.
Pihak pendukung tersebut beralasan bahwa langkah yang diambil oleh
Presiden untuk menjadikan mayoritas dari penghuni Kantor Staf Presiden (KSP)
dari kalangan milenial adalah keputusan yang sangat tepat, mengingat para
pemuda ini sebelumnya telah memberikan kontribusi terbaik mereka baik dari sisi
akademik maupun kiprah dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat kental
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Kesuksesan mereka
dalam berbagai bidang yang mereka geluti tersebut dengan usia yang relatif muda
merupakan pertimbangan utama mereka dipilih menjadi bagian dalam lingkarangan orang-orang penting presiden.
Oleh karenanya, kehadiran mereka dianggap akan memberikan warna dan corak
kebijakan yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan bangsa seiring
dengan semakin dinamisnya perubahan zaman dimana saat ini sudah mulai memasuki
era revolusi industri 5.0 yang akan digagas oleh pemerintah Jepang.
Adapun para oposisi yang kontra beranggapan bahwa kebijakan ini
sangat tidak efektif. Kapasitas dan kapabilitas para staf khusus milenial ini
masih diragukan khususnya dalam hal pelaksanaan tugas mereka sebagai penghuni
KSP dengan program-program strategis sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden.
Program prioritas
nasional, komunikasi politik kepresidenan dan pengelolaan isu strategis
merupakan tiga kegiatan utama yang menjadi tugas para staf khusus presiden
sehingga kemampuan para penghuni KSP khususnya dari kalangan milenial ini masih
diragukan. Belum lagi mereka hanya akan bekerja paruh waktu –sulit mengukur
kinerja mereka– dengan gaji yang fantastis sebesar Rp 51 Juta perbulan (Tirto.Id
24/11/2019), dengan kata lain Rp 612 juta perbulan atau Rp 7,3 Miliyar uang
rakyat setiap tahunnya dikucurkan untuk mereka dimana sumbangsih yang bisa
mereka bisa berikan pun belum pasti nyata dan masih dikhawatirkan tidak sesuai
dengan gaji yang diperoleh.
Analis Kebijakan, peran anak bangsa yang terlupakan
Sebelumnya, kehadiran lembaga KSP ini sejatinya tidak dapat
dipungkiri merupakan wujud dari penyakit klasik yang lazim terjangkit oleh
sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Penyakit itu oleh Miftah Thoha
(2012) dalam bukunya yang berjudul “Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di
Indonesia” disebut dengan Parkinson yaitu penyakit yang membawa seorang
pimpinan merasa akan tambah berwibawa, berkuasa dan bergengsi jika dia memiliki
staf yang banyak agar dianggap berkuasa, maka diberikanlah posisi dan jabatan
kepada staf tersebut dengan membentuk organisasi yang baru atau mempergemuk
lembaga yang sudah ada. Nah, perilaku memperbanyak lembaga ini disebut sebagai
Proliferasi.
Parkinson dan Ploriferasi bukanlah barang baru dalam sejarah
eskalasi politik di Indonesia, bahkan sejak masa orde lama, orde baru hingga
rezim reformasi penyakit ini telah ada
dan pada kenyataannya sulit untuk bisa diobati. Tumpang tindih tugas pokok dan
fungsi berbagai lembaga negara sangat kentara terlihat, baik antara lembaga
pemerintah kementerian maupun non kementerian (LPNK). Belum lagi pada tataran
pemerintah daerah provinsi hingga kabupaten/kota, sengaja mempergemuk tubuh
organisasi pemerintahan agar merekrut banyak orang yang notabene menjadi supporter
dan voter-nya di kemudian hari.
Kembali ke KSP, padahal pemerintah sendiri secara khusus telah
membentuk wadah bagi para inovator, analis, dan evaluator terhadap suatu
kebijakan melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 45 Tahun 2013. Regulasi ini mengatur tentang Analis
Kebijakan. Analis kebijakan merupakan mereka yang diberikan tugas,
tanggungjawab, dan wewenang untuk melaksanakan kajian dan analisis keijakan
dalam lingkungan instansi pusat dan daerah. Kajian dan analisis kebijakan
merupakah kegiatan mengkaji dan menganalisis kebijakan dengan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, integritas, efisiensi dan
efektifitas untuk mencapai tujuan tertentu dan/atau menyelesaikan masalah
publik.
Lebih jauh, Rowe G dan L.J Fewer (2000) dalam bukunya yang berjudul
“A Comparison of Framework, Theories, and Models of Policy Process”
mengemukakan tugas utama analis kebijakan adalah memberikan saran kebijakan
kepada pemerintah selaku perumus kebijakan. Disamping itu, mereka juga memiliki
tugas mengedukasi masyarakat serta kalangan lain dari unsur pemerintah, seperti
sektor privat dan Non Government Organization (NGO) sebagai pemangku
kepentingan dalam pembuatan kebijakan. Sasaran edukasi tersebut terkait dengan
permasalahan publik yang harus dijadikan pertimbangan utama oleh para pihak
ketika menyusun kebijakan.
Begitu juga pandangan Erwan Agus Purwanto dkk (2015) dalam karyanya
yang berjudul “Mengembangkan Profesi Analis Kebijakan” mengemukakan
tentang kriteria analis kebijakan yaitu mereka juga harus memiliki keahlian
dalam bidang metodologi analisis kebijakan, kemampuan analisis dan menyajikan
data, teknik penulisan, teknik presentasi, teknik advokasi kebijakan, teknik jejaring
(networking), teknik penyusunan strategi kebijakan dan substansi kebijakan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat kita nilai siapakah yang
lebih layak menjadi penghuni Kantor Staf Presiden? Apakah cukup dari mereka
yang dianggap memiliki prestasi akademik dan punya inovasi dalam bidang
tertentu atau mereka yang dengan keahlian khusus memang disiapkan untuk menjadi
think-tanks nya perumus kebijakan?
KSP atau Analis Kebijakan?
Milyaran anggaran negara dikeluarkan untuk merekrut mereka para
analis kebijakan melalui seleksi CPNS dengan berbagai persyaratan tertentu
sesuai ketentuan yang berlaku, begitupun pasca diterima sebagai ASN mereka juga
secara berkala mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas diri dalam rangka peningkatan kinerja semata-mata
untuk menghasilkan karya terbaik demi kebijakan pemerintah yang lebih efektif.
Jika memang tujuan pemerintah membentuk KSP terlebih beranggotakan para
milenial ini adalah guna memperoleh masukan dan saran kebijakan yang lebih
inovatif, bukankah analis kebijakan adalah jawabannya?
Apabila para analis kebijakan yang telah terbentuk sejak enam tahun
silam ini dianggap belum mampu mengakomodir tuntutan presiden untuk dapat
memberikan sumbangsih fikiran dan karya demi kebijakan yang efektif sehingga
pemerintah harus ngotot merekrut mereka yang juga belum tentu dapat
memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang diharapkan, bukankah evaluasi
rekuruitmen, pengembangan kapasistas dan pengawasan di tubuh analis kebijakan
adalah perkara yang lebih prioritas untuk dilakukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar