Setiap negara
bercita-cita tinggi mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, Indonesia dengan tujuan
mulianya yang tertuang dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa memajukan kesejahteraan bangsa merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan Indonesia. Hal
ini diwujudkan dengan berbagai agenda pemerintah sejak dahulu dalam merumuskan
perencanaan pembanguanan mulai dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)
hingga berubah nomenklatur menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah /
Panjang (RPJM/RPJPD). Adapun pemerintah saat ini merumuskan perencanaan
tersebut dalam 9 Agenda Pembangunan Indonesia yang dikenal dengan Nawa Cita
sebagai misi dari cita-cita pembangunan bangsa.
Namun dalam proses pencapaian
tujuan tersebut Indonesia harus menghadapi beberapa tantangan berupa isu-isu
strategis seperti yang tertuang dalam laporan World Bank melalui Dokumen Development Policy Review 2014 dengan tajuk Indonesia Avoiding the Trap yang menggambarkan tantangan yang dihadapi
Indonesia, diantaranya : Perekonomian Indonesia pasca 97/98, Dampak Sosial
Ekonomi Pasca Reformasi 97/98, Kemiskinan, Ketidak merataan Pembangunan
Inftrastruktur, Kurangnya Keterampilan Angkatan Kerja, Pengembangan Fungsi
Pasar, Pelayanan Dasar, Penguatan perlindungan sosial serta Manajemen resiko
bencana.
Tulisan ini merupakan refleksi dari
pemikiran penulis mengambil satu dari beberapa isu-isu strategis Laporan World
Bank tersebut yaitu permasalahan Ketimpangan
Skill dalam Angkatan Kerja yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia.
Meningkatnya permintaan akan pekerja yang terampil, sulitnya menemukan pekerja
pada posisi profesional, tingkat pengangguran lulusan lebih tinggi dari pada non
lulusan serta berbagai permasalahan dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui penanganan permasalahan ketimpangan skill dalam angkatan
kerja. Di akhir tulisan paper ini penulis berusaha memberikan alternatif solusi
dari studi literatur dan hasil diskusi dengan Dosen Mata Kuliah Strategi
Pembangunan dan Industrialisasi yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan ketimpangan skill angkatan kerja di Indonesia.
Kebutuhan Pasar terhadap Pekerja
Terampil
Masyarakat Indonesia sering
mengeluhkan kondisi para pekerja dengan istilah “menjadi budak di rumah
sendiri” bagaimana tidak fenomena yang terjadi di Indoesia dalam mengerjakan
proyek tertentu atau perusahan manufaktur yang berkerja sebagai buruh, clining service dan pekerjaan pada level
bawah lainnya dilakoni oleh kebanyakan warga asli indonesia, Padahal masyarakat di beberapa
negara tetangga saja seperti Malasyia, Singapura, dan Brunai Darussalam enggan
melakukannya dan malah WNI yang menjadi pekerja di level bawah seperti itu.
Kita tidak bisa menyalahkan
perusahaan dalam hal ini, karena fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh
mayoritas masyarakat Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk menduduki posisi
profesional atau manajer di perusahaan tersebut baik disebabkan oleh kurangnya
keterampilan maupun pendidikan. Data World Bank 2010 menunjukkan bahwa 70%
Perusahaan mengalami kesulitan dalam merekrut karyawan pada posisi
semi-terampil dan terampil serta posisi profesional dan manajer. tentu saja jika perusahaan belum
menemukan warga Indonesia untuk menduduki posisi tersebut maka akan diisi oleh
Warga Negara Asing yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang memenuhi.
Maka istilah “budak” seperti yang dikemukakan di atas sulit menanggalkan diri
dari status mayoritas pribumi.
Pendidikan menjadi
Solusi ?
Peningkatan Skill
Tenaga Kerja
Reformasi pada sistem pendidikan merupakan
kebijakan jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan ini. Adapun solusi jangka
pendek yang sesuai dengan kondisi terkini adalah bagaimana meningkatkan skill
atau keterampilan angkatan kerja yang ada agar memiliki daya saing yang mumpuni
dengan mengoptimalkan pengembangan sistem sertifikasi profesional dan pelatihan
berbasis kompetensi. Namun beberapa permasalahan dalam optimalisasi ini adalah
bahwa perusahaan enggan memberikan kesempatan pelatihan dan pengembangan bagi
karyawan dengan dalih ketakutan akan sikap karyawan yang berhenti bekerja namun
telah memperoleh skill yag dibiayai perusahaan sehingga menimbulkan kesan bahwa
sektor publik lah yang harus dibebani dalam hal penyelenggaraan pengembangan
dan pelatihan. Asumsi ini tidak seharusnya berkembang karena masing-masing
unsur memiliki tanggung jawab moral terhadap hal tersebut baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat karena yang mendapatkan manfaat dari hasil pelatihan
dan pengembangan ini adalah semua pihak.
Upaya dalam mengatasi ketimpangan
keterampilan angkatan kerja ini merupakan bagian dari program mewujudkan agenda
nawa cita yang bila mana semuanya dapat dicapai dengan baik maka akan berdampak
positif pada kemajuan bangsa. Upaya tersebut adalah berupa reformasi sistem
pendidikan yang responsif terhadap perkembangan globalisasi ketenagakerjaan dan
optimalisasi peningkatan skill angkatan kerja yang diusahakan bersama oleh
pemerintah, swasta dan masyarakat. Maka bilamana permasalahan ketimpangan
keterampilan angkatan kerja ini dapat teratasi dengan baik akan sangat
berpengaruh besar dalam pencapaian cita-cita bangsa yaitu memajukan
kesejahteraan umum karena makin terampilnya angkatan kerja maka akan memudahkan
mereka untuk memasuki dunia kerja yang secara otomatis akan mengurangi tingkat
pengangguran dan tentu juga akan mengambil peran dalam meningkatkan jumlah
produksi barang dan jasa yang akan memberi pengaruh positif pada produk
domestik bruto Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar