Gito, titik. Itulah nama lengkap temanku asal Bangka Belitung yang satu ini. Purna Praja yang penuh dengan inovasi. Ia memiliki bakat terpendam yang belum ia perlihatkan ketika dulu menempuh bangku pendidikan.
Setauku, ia dulu cukup kalem, tak banyak cakap, tapi tetap menjadi terdepan karena waktu itu ia menjabat sebagai anggota dewan perwakilan praja pada Organisasi Wahaya Wyata Praja IPDN Kampus NTB 2012 - 2013.
Kini, se-Bangka Belitung hampir tak ada yang kenal dengan namanya Gito. Pemuda inovatif yang terkenal dengan aktivitas sosialnya dalam mengelola sampah di wilayah tempat ia tinggal dan bekerja.
"Iya Boy, kalau kau ke kampungku, kau bilang aja Gito 'sampah', pasti ga ada yang gak kenal". Ungkapnya sambil tergelak.
Saking aktif dan berdampaknya aktivitas sosialnya untuk mempengaruhi kesadaran pemuda dan warga setempat dalam hal mengelola sampah, ia bahkan diminta oleh Bupati untuk bertugas di Kabupaten Bangka Selatan dari sebelumnya bekerja di Pemerintah Provinsi Babel. Ia ditunjuk sebagai Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Kami bertemu di salah satu caffe ga terkenal dekat sarinah. Sembari nostalgia, ia kemudian banyak berbagi pengalaman bagaimana ia memulai branding diri sebagai seorang yang sangat peduli dengan lingkungan khususnya pengelolaan sampah. Bahkan ia mampu menginiasi untuk membuat aplikasi chip retribusi sampah (peci resam).
Dulu di 2019, saat aku menempuh pendidikan lanjut di Yogyakarta, kami juga sempat bertemu. Saat itu, ia sedang memenuhi undangan sebagai narasumber di salah satu hotel mewah untuk menyampaikan sharing knowledge-nya terkait dengan pengelolaan sampah.
Mulanya, ia membuat program sedekah sampah dengan tukar sampah dengan sembako (beras, minyak, gula, garam, dsb). Tidak sampai disitu, kemampuannya dalam membangun jejaring dengan berbagai mitra untuk mengelola sampah tersebut kemudian berbuah manis dan berdampak besar bagi sektor lingkungan tempat ia bekerja.
Tentu, berbagai tantangan ia hadapi dengan sebijaksana mungkin tatkala banyak cercaan yang menyayangkan aktivitasnya yang terkesan 'kurang elegan' itu khususnya dari sebagian orang-orang yang berada di sekitarnya. Tapi, ia woles aja. Terus konsisten dengan aktivitas positifnya.
Karenanya, ia datang ke Ibukota bersama tim Dinas Pengelolaan Lingkunan Kabupaten Bangka Selatan guna memenuhi undangan penghargaan Kalpataru tahun 2024 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bukan itu saja, sebelumnya ia cukup intens diundang sebagai narasumber di berbagai kegiatan lokal maupun nasional untuk berbagi ilmu dalam perannya sebagai aktivis lingkungan yang sangat menginspirasi.
"Boy, aku sering ditanya sama orang-orang: 'kau ini sarjana apa? Kan kau ini calon Camat, kok ngurus sampah?'. Aku jawab aja 'ST' / Sarjana Sok Tau". Katanya ngakak.
Saya kemudian penasaran dengan kunci konsistensinya dalam menekuni sebuah aktivitas yang sangat bermanfaat itu. Karena, kadangkala kita cenderung banyak melihat hal-hal yang belum kita peroleh dan jarang mensyukuri, mengelola dan mengoptimalkan apa yang saat ini berada di hadapan kita.
Gito dengan selonya menjawab gendeng: "Entah kenapa boy, karena iseng aja, apa yang kucoba pegang ya jadi aja gitu".
Mungkin dia belum tepat menteorisasikan prinsip konsistensi itu. Tapi, lagi-lagi, hal yang aku perlu belajar banyak darinya yaitu bagaimana mensyukuri, mengelola dan mengoptimalkan apa yang saat ini berada di hadapan kita.
Yang tampak, selalu saja yang berbau negatif dari limpahan anugerah yang saat ini kita peroleh. Pikiran yang masih waras, badan yang sehat, keluarga yang sehat walafiat dan selalu ada untuk mensupport, pekerjaan, bekal ilmu yang diperoleh, serta yang paling penting ialah ilmu agama yang selalu menjadi prioritas sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya (akhirat).
Sesungguhnya, persoalan dan masalah yang sering mengganggu kehidupan kita ada pada diri kita sendiri yang belum1 pandai meletakkan prioritas hidup.
Dalam Islam dikenal istilah: "Tinggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan perolehlah hal-hal yang bermanfaat". (Hadits)
Begitu pula istilah lain: "tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya". (Hadits)
Gito mengajarkanku tentang makna dari sebuah kata simpel "konsisten". Mudah diucapkan tapi tak segampang itu dilaksanakan. Tapi, siapapun orang yang sanggup hingga akhir, ia akan tuai apa yang ia tanam. Kokoh berjalan lurus meski banyak bisikan-bisikan sampah terngiang.
Tak mudah memang, apalagi kita tinggal dan hidup di tengah-tengah orang yang sangat 'peduli' dengan urusan-urusan pribadi kita. Mereka yang selalu ingin tahu bahkan berapa butir beras yang kita punya di dapur, saking pedulinya.
Tapi, bagi Gito, itu hanyalah asam garam hidup khususnya di tempat ia tinggal. Jalani saja, buka pikiran, dan jangan goyang. Sukses selalu sahabatku Gito!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar