Sore itu, aku mendapatkan perintah dari atasan untuk bertugas di luar kota, tepatnya di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam mengurus penyusunan naskah MoU, aku mendampingi Kedeputian yang melaksanakan tugas teknis untuk menyukseskan program Budi Daya Pertanian pada Food Estate disana.
Pesawat kami landing di Bandara
Silangit, Siborong-borong. Kami disambut hangat oleh seorang driver
berpenampilan rapi dengan stel memasukkan baju ke dalam. Perawakan batak yang
biasa terlihat sangar, tidak tampak dari wajahnya, namanya Bang Albert. Ia
menyambut kami dengan senyum sambil membantu memasukkan barang-barang ke mobil
innova hitam yang siap membawa kami langsung ke lokasi food estate.
Sepanjang jalan, aku berdecak kagum akan bagusnya
infrastruktur jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten yang dilewati.
Bisa kupastikan, tidak satupun jalan raya yang dilewati terlihat rusak, berlubang,
atau sedang perbaikan. Semuanya steril, rapi, dan sangat nyaman berkendara
disana. Sesekali ku ajak Bang Albert berbicara memcahkan suasana:
“Bang, sudah lamanya jalan raya semantap ini?”
tanyaku mencoba menggunakan logat sang driver.
“Iya bang, kalo jalan yang markanya kuning itu
udah lama. Kalo jalan marka putih ini baru 2 -3 tahun ini lah”. Jawabnya dengan
logat batak toba yang kental.
Kami tiba di salah satu lokasi lahan dengan
luas 200 hektar. Beberapa alat berat sedang bekerja untuk menggarap tanah yang
direncanakan akan ditanam bibit durian. Salah satu bagian dari beberapa lahan
yang akan ditanami komoditas lain seperti bawang, kentang, kacang, dan berbagai
tanaman pangan lainnya dengan total luas lahan 1.200 hektar.
Aku melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi
dan tegap mengawasi pekerjaan di lahan. Ternyata, ia adalah staf khusus Pak
Menteri Koordinator yang telah menyelesaikan PhD di Amerika beberapa tahun
lalu. Ia dipercaya untuk mengurus program food estate disana.
Melihat kami tiba, ia pun datang menghampiri,
menyalami semua, kemudian menjelaskan detail informasi tentang rencana
penanaman durian di lahan tersebut. Tantangan, kendala, dan berbagai hal
penting yang perlu diketahui oleh pelaksana teknis yang kiranya dapat membantu
menyelesaikan persoalan yang ada sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kami pun bergeser ke lokasi selanjutnya.
Perjalanan memakan waktu 30 menit. Tiba di TSTH, sebuah laboratorium pertanian
terbesar yang akan bekerjasama dengan Jerman, Kanada, dan Amerika dalam rangka pelaksanaan
program pertanian pada lokasi food estate. Disitu, kami bertemu dengan pihak
dari Kementerian Pertanian dan beberapa Perusahaan terkait yang akan melakukan
kerja sama dengan Kementerian kami, seperti Indofood, Calbe, dan Champ.
Menurutku, ini adalah kerja sama yang cukup penting
dan proyeksinya akan berdampak sangat signifikan baik bagi masyarakat setempat
maupun bagi ketersediaan pangan di Indonesia. Bayang-bayang kesejahteraan dalam
kurun waktu 5 hingga 10 tahun kedepan di wilayah tersebut seakan mulai
terlihat.
Terlepas dari konflik yang mungkin muncul
sebagai dampak dari program tersebut. Aku mulai bergeser ke posisi sudut
pandang khusus melihat fenomena ini. Adalah pengaruh seorang Luhut Binsar
Pandjaitan dalam mendorong pembangunan di tempat tersebut begitu besar. Belum
lagi bicara terkait intervensi positif dari Institut Teknologi Del -yang telah sukses dibangun oleh
seorang Luhut- berada tidak jauh
dari lokasi tersebut yang juga mengambil bagian dan peran penting.
Aku kemudian melihat daerahku Aceh Singkil.
Daerah yang baru beberapa tahun ini lepas dari status sebagai satu-satunya
daerah tertinggal di Provinsi Aceh. Daerah yang sering mengalami banjir. Bahkan
sempat 3 bulan berturut-turut terkena bencana banjir di akhir tahun 2023 lalu.
Daerah dengan persentasi kemiskinan dengan angka 19% (masih termasuk tertinggi
di Aceh), indeks profesionalitas ASN 36,5 (sangat rendah), indeks kemandirian fiskal
yang masih belum mandiri (7,8% dari total APBK, 92,2% Transfer Tahun 2022). Daerah
yang sempat diberi harapan akan datangnya investasi sebesar Rp 7 Triliun di
sektor pariwisata di tahun 2020 – 2021 lalu.
Ingin sekali rasanya melakukan sesuatu. Tapi
apa? Haruskah aku menjadi seorang Luhut?
Sejenak aku merenung, kemudian melihat kaca,
berimajinasi seakan roh-ku keluar sebentar saja dari jasad untuk melihat diri
ini secara fisik. Menyelami lebih dalam kepada diri dengan melihat kapasitas
diri, masih dangkalnya ilmu dan pengalaman pada diri, masih sempitnya relasi
yang dibangun, masih pendeknya track record yang pernah dilalui.
Ah, fokus saja pada diri, sembari menjalani
semuanya. Cita-cita boleh lah semulia itu. Tapi, untuk menjadi seorang Luhut,
tidak sebercanda itu juga kawan! Mungkin ada yang mengatakan jauh panggang dari
api. Tapi, Luhut di umur sepertiku ini mungkin juga tidak
membayangkan bahwa pada Sejarah karirnya akan mengukir prestasi-prestasi
gemilangnya saat ini. Sekali lagi, terlepas dari segala aspek negatif yang
mungkin timbul dari perspektif lain tentang beliau.
Berada dan bekerja di sebuah instansi yang
pucuk pimpinannya langsung dibawah kepemimpinan seorang Luhut memang merupakan
suatu kebanggan tersendiri di satu sisi. Tapi, disisi lain, ada rasa yang menantang
untuk diri. Bisakah aku seperti sosok itu di masa depan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar