Bismillah
Komitmen kita, minimal setiap tahun bisa pulang kampung, nak. Sesulit apapun itu. Ini adalah janji ayah untuk Uci dan Angku di Pulau, serta Nekbu dan Nekmi di Subulussalam.
Kalian tau, nak?
Dulu, ketika masing-masing Ayah dan Umma di rantau dalam rangka menimba ilmu. Kehadiran kami di nanti-nanti, kepergian kami untuk belajar dirindukan. Dan kami pun pulang membawa ilmu, pendidikan, pengalaman, dan gelar kesarjanaan kami masing-masing.
Betapa bahagianya orang tua kami. Mereka merasa, saat itu lah waktunya kami dapat bercengkrama berlama-lama dengan mereka. Bertahun-tahun kami di rantau. Dan waktu itulah saatnya pulang.
Namun, kebersamaan itu tidak lama nak. Ayah sendiri, pasca tamat kuliah, langsung bertugas di seberang Pulau kita. Uci dan Angku di sana, dan Ayah pun di seberangnya bekerja (Singkil). Meskipun hanya berjarak 26 mil, bukankah Ayah pun dianggap merantau (lagi)?
Begitu pun Umma. Tahun 2016 beliau lulus menjadi Sarjana, dan di tahun itu juga Ayah meminangnya. Kami tinggal di Singkil. Meski hanya berjarak 72 km, bukankah Umma pun juga dianggap merantau (lagi)?
Hanya berselang waktu 2 (dua) tahun (2018), Allah Ta'ala menganugerahkan kepada Ayah untuk melanjutkan pendidikan di Kota Yogyakarta, begitu pula Umma. Dan Kak Fathiyyah, umurmu 8 (delapan) bulan saat kita beranjak ke Yogya. Bukankah kita merantau lebih jauh lagi?
Alhamdulillah, Allah pun memberi kelancaran pada urusan kita. Tahun 2020 kita kembali ke Singkil, dan Dek Adzkiya pun lahir.
Kalian tau, nak?
Tepat satu tahun Ayah kembali bertugas di Singkil. Kita pun merantau kembali, ke Ibukota.
Sungguh berat hati untuk kembali jauh dari orang tua di Kampung. Sungguh kita merindukan mereka yang di Pulau dan di Subulussalam. Mudik untuk pulang adalah komitmen kita untuk melepas kerinduan (taragak: [pulo]), nak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar