"Negeri di atas air". Ini istilah yang dipakai anak kampung yang lahir di tanah yang dikelilingi oleh air baik itu laut, sungai, maupun danau.
Hari ini saya mendapat tugas dinas untuk turun ke sebuah desa di Aceh Singkil yang bernama Takal Pasir.
Takal Pasir ini merupakan desa yang ada di Kecamatan Singkil. Dulunya lokasi desa ini berada tepat di pinggirang sungai yang bernama Lae Soraya.
Namun karena bencana banjir tahunan yang semakin intens melanda desa ini dan beberapa desa lainnya maka pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi penduduk. Mereka dipindahkan ke lokasi daratan yang lebih tinggi.
Meski demikian, profesi mayoritas penduduknya tidak serta merta bisa berubah. Kebanyakan penduduk desa ini tetap konsisten menjadi nelayan sungai dengan hasil tangkapan ikan, udang dan kerang.
Tidak terkecuali Adam (28). Nelayan yang kebetulan perahunya saya tumpangi untuk menunjang pelaksanaan tugas saya hari ini. Dalam perjalanan yang ditempuh sekitar satu jam. Kami bercerita panjang lebar tentang kehidupan si anak kampung.
Cerita kami mengalir demikian serunya. Karena memang kami sama-sama lahir dari kampung yang kini populer disebut "negeri di atas air". Meski berbeda antara Takal Pasir dengan Pulau Banyak, setidaknya kami tumbuh bersama hamparan perairan mahakarya Sang Pencipta yaitu sungai dan laut.
Masa kecil yang kami habiskan dengan berenang bersama teman-teman tanpa beban apapun, mendayung perahu-perahu kecil, memancing ikan-ikan kemudian dibawa pulang sebagai simbol kebanggaan khususnya kepada Ibunda tercinta untuk diolah menjadi masakan istimewa sedunia. Kenangan yang takkan terlupakan bagi kami anak kampung dari negeri di atas air.
"Tapi kita beda bang" kata Adam. Sambil menurunkan kecepatan perahunya, Dia kemudian menghela nafas panjang sembari merenung kemudian melanjutkan ceritanya sebagai seorang nelayan yang mulai turun mencari nafkah tepat ketika azan subuh berkumandang. Segera melaksanakan shalat subuh, kemudian menuju perahu untuk mengais rezeki.
Dalam pandangan Adam, orang yang memiliki jabatan dan pendidikan yang tinggi adalah titik klimaksnya kesuksesan bagi orang kampung. Jauh berbeda dengan dirinya dan teman-teman seprofesinya yang hanya mampu menjalankan rutinitas sebagai nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu.
Kami pun berhenti di lokasi tempat saya melaksanakan tugas. Singkat cerita, setelah tugas selesai kami pun kembali ke perahu untuk pulang. Di tengah perjalanan kami melanjutkan cerita. Kali ini giliran saya menanggapi argumentasinya mengenai perbedaan nasib si anak kampung.
Bagi saya, jutaan ragam profesi yang ditekuni manusia dalam mengarungi kehidupan ini tidak lain tujuannya adalah kebahagiaan. Kata "bahagia" yang maknanya sangat luas dan beragam. Beda individu, beda pula cara dia memaknai kebahagiaan.
Banyak orang dengan "kesuksesan" yang - menurut Adam diperoleh dari pendidikan dan jabatan yang tinggi - pada akhirnya tidak dapat memperoleh kebahagiaan yang hakiki meskipun secara finansial dia sangat tercukupi.
Kebahagiaan yang ia cari timbul tenggelam bersamaan dengan kompleksnya problematika kehidupan yang ia hadapi. Orang yang berpendidikan dengan tuntutan project ataupun beban pekerjaan yang besar sehingga ia kehilangan waktu untuk keluarga yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan kasih sayang yang besar.
Orang yang memiliki jabatan tinggi dengan resiko keputusan dan kebijakan yang juga tinggi seakan selalu merampas ketenangan dalam menjalani kehidupan ini meski segala macam bentuk kemewahan telah ia peroleh dan rasakan.
Maka pada akhirnya, tidak berlebihan jika saya mengatakan kepada Adam bahwa apabila kebahagiaan itu bisa dinilai dengan rupiah maka "Abang itu lebih kaya dari mereka".
Adapun Kebahagiaan hakiki yang sangat layak untuk dijemput adalah yang ada disisi Rabbul Al-Amin Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahagia yang diperoleh dari Sang Pencipta Kebahagiaan. Tidak akan ia berikan kecuali bagi hamba-hambaNya yang senantiasa mendekatkan diri kepadaNya di setiap saat dan di setiap ruang dan waktu.
Singkil, 19 Dzulhijjah 1441 H
Fauzan Hidayat
Gambar : Di atas sungai Lae Soraya bersama Bung Adam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar