Ruwaibidhoh. Itulah ungkapan yang diistilahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam kepada orang yang sejatinya bodoh namun dianggap pintar di tengah-tengah ummat bahkan diberi kepercayaan untuk berfatwa.
Betapa di akhir zaman ini kita dihadapkan dengan berbagai hal yang abu-abu terlebih dalam perkara agama. Sebagian kita menjadikan status awam sebagai alasan untuk berdiam diri tanpa berusaha membentengi diri dari berbagai hal yang bersifat abu-abu ataupun syubhat tersebut.
Baru baru ini kira dikejutkan dengan lulusnya seorang calon doktor dengan disertasinya yang menghalalkan seks tanpa nikah. Padahal jelas dan sangat gamblang di dalam Islam diatur perkara seperti pernikahan, hukum zina serta konsekuensinya dimana sejak zaman sahabat hingga tabiut tabiin -dimana Rasulullah menjamin 3 generasi tersebut adalah sebaik2 zaman- perkara ini sudah tuntas, tamat alias khatam.
Akan tetapi, di zaman Now muncul para Ruwaibidhoh Ruwaibidhoh dengan tanpa rasa malu plus tak tau diri dan tanpa berdosa membantah ijma' para sahabat, tabiin hingga tabiut tabiin tersebut. Maka tidak berlebihan jika kita menganalogikan orang ini berucap "aku lebih faham agama ini dari pada Abu bakar assiddiiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin abi thalib ridhwanullahi alaihim".
Seawam awamnya seorang muslim pastilah ia menolak keras pernyataan sang Ruwaibidhoh tersebut. Maka, dari kasus unik dan konyol ini layaknya kita dapat mengambil pelajaran yang beharga, diantaranya yaitu : hendaklah kita memahami kaidah-kaidah yang benar dalam memahami agama.
Perkara dalam agama islam apapun bentuk dan jenisnya selayaknya kita merujuk kepada cara para generasi terbaik tersebut mengamankannya.
Semua kelompok, semua manusia yang berfatwa dan berpendapat dalam perkara agama, pastinya mereka selalu menyandarkan sumber yang mereka ambil adalah dari Alquran dan Al hadits.
Lalu apa perbedaannya?
Hanya satu bedanya, yaitu pada hal tata cara memahami alquran dan Al hadits. Titik perbedaan berbagai kelompok dan organisasi dengan beraneka bentuk pemahaman mereka tentang agama islam yang mulia ini; adalah pada sisi cara memahami dalil.
Bukankah Rasulullah telah memberikan kita pedoman agar menjadikan para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin sebagai tauladan kita dalam mengikuti tata cara memahami Nash (Alquran dan Al hadits).
Dengan demikian, bukan berarti kita menafikan keberadaan para ulama yang hidup setelah 3 generasi tersebut hingga ulama yang hidup pada zaman ini. Mereka tetap patut kita jadikan panutan dan pedoman juga. Adapun fatwa yang dapat kita jadikan pedoman dari para ulama saat ini adalah fatwa-fatwa mereka terhadap permasalahan agama yang bersifat kontemporer (perkara yang dulunya tidak ada, seperti hukum bayi tabung, hukum status musafir dengan kendaraan pesawat dan sebagainya).
Sedangkan perkara yang bersifat klasik yang sejak zaman sahabat telah rampung dan telah selesai dibicarakan maka kita mesti mengikuti sisi cara pemahaman generasi terbaik dalam menamai agama.
Oleh karena itu, mempelajari ilmu agama yang sangat luas ini dengan lebih sungguh2 adalah pilihan tepat seorang muslim yang brnar2 mengharap ridha Allah dan merindukan surgaNya.
Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang senantiasa diberi petunjuk dan inayahNya.. aamiin ya Robb
Yogyakarta, 03 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar