Perkembangan
teknologi informasi di era revolusi industri 4.0 ini bak mentari yang sinarnya
tidak dapat dihindari dan hanya menawarkan dua pilihan kepada manusia, yaitu :
Hidup –mampu menyesuaikan diri dengan menjadi bagian yang bisa memanfaatkanya–
atau Mati –menjadi korban panas teriknya–. Perkembangan digitalisasi telah
merambah ke semua lini kehidupan masyarakat khususnya di bidang perekonomian
baik di sektor industri pertanian-perkebunan, perikanan, musik, perfilman
hingga transportasi dengan membawa eksternalitas positif dan negatifnya.
Ketika
membicarakan kompleksitas problematika kehadiran transportasi layanan on demand seperti Go-Jek di Indonesia,
maka terdapat 2 (dua) ekstrim kelompok yang berbeda pandangan yaitu Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan.
Ekstrim
kanan merupakan pihak yang dengan serta merta mengapresiasi dan menyambut baik
kehadiran transportasi online ini dengan mengesampingkan eksternalitas negatif
yang berpotensi ditumbulkan. Memang
kenyataan yang saat ini kita rasakan adalah bahwa kehadiran Go-jek telah
menciptakan segala bentuk kemudahan melalui aplikasi smartphone hanya dengan sentuhan jari semua kebutuhan bisa
terpenuhi. Khususnya transportasi online yang saat ini menjadi primadona di kota-kota
besar di Indonesia, belum lagi fitur-fitur tambahan yang menungganginya dalam
satu aplikasi seperti Go-Food, Go-Box,
Go-Glam, Go-Massage, Go-Tix, Go-Deals, Go-Pulsa dan lain-lain.
Disisi
lain, kehadiran perusahaan aplikasi layanan On-Deman
Gojek berdasarkan Survei Lembaga Demografi FEB UI menyebutkan bahwa Go-Jek efektif
mengurangi pengangguran dan memberikan peluang kerja bagi masyarakat yang
sebelumya tidak bekerja dengan rincian 75 persen Driver Go-Jek lulusan SMA, 15
persen merupakan lulusan perguruan tinggi dengan rata-rata pendapatan mitra
pengemudi paruh waktu Rp3,48 Juta per bulan atau 1,25 kali lipat dibandingkan
rata-rata UMR di sembilan kota survei (Kompas,
22 Maret 2018).
Adapun
Ekstrim kiri adalah mereka yang melihat dari perspektif berbeda terhadap
kemajuan teknologi di bidang industri transportasi ini, mereka menganggap bahwa
ini bukanlah awal kemajuan pembanguan ekonomi, namun merupakan bentuk kapitalisme murni, awal kehancuran
perekonomian bangsa, dan berbagai
stigma negatif sebagai bentuk perbedaan pandangan menyikapi fenomena ini.
Bagaimana tidak, selain dampak positif yang ditimbulkan, berbagai permasalahan
juga muncul mulai dari ketimpangan pendapatan dengan pengemudi konvensional,
meningkatnya kemacetan lalu lintas, tidak adanya jaminan kerja bagi para driver hingga puncaknya adalah
kekhawatiran terhadap kapitalisme pasar yang akan terjadi dikarenakan
investornya adalah Raksasa Perusahaan di Dunia seperti Google, Tencent dan
JD.com.
Para
investor tersebut menyuntikkan dana untuk Gojek sejumlah USD 4 Miliar atau
setara dengan IDR 53 Triliun (Selular.Id,
29 Jan 2018). Secara logika ekonomi sederhana, tidak mungkin dengan
cuma-cuma perusahaan sekelas Google ataupun Tencent mau menggelontorkan
sedemikian banyaknya saham untuk kemajuan Go-jek tanpa ada motiv profit-oriented dalam jangka panjang.
Pemerintah
harus sigap dalam menyikapi setiap permasalahan yang berpotensi menimbulkan
dampak buruk terhadap perekonomian bangsa. Isu perkembangan digitalisasi industri
transportasi ini membutuhkan respon positif dan serius. Untuk itu beberapa hal
yang hendaknya menjadi fokus pengambil kebijakan dalam menyikapi hal ini adalah
:
Pertama, Memiliki data driver online yang ter-up to
date dan valid. Para driver online telah membentuk organisasi
dengan menyebutnya ALIANDO (Aliansi Driver Online). Organisasi ini dibentuk
sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak driver
online khususnya terhadap perusahaan.
Nah, disini pemerintah harus peka dan responsif plus bersedia merangkul eksistensi Aliando, darinya pemerintah akan
mendapatkan pijakan dasar untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam
menyelesaikan segala problematika dan persoalan di dunia transportasi online.
Kedua, Responsifitas terhadap investor. Setiap
kerjasama antara kedua belah pihak tentu ada poin-poin yang disepakati. Pemerintah
harus dapat nenunjukkan eksistensinya dengan membuat suatu kebijakan agar
setiap MoU harus dengan sepengetahuan
pemerintah dan tentunya atensi pemerintah disini tidak justru memperburuk iklim
investasi yang ada. Maka isu yang selama ini menjadi momok –Kapitalisme- dapat
segara diramu penangkalnya.
Ketiga, Optimalisasi fungsi transportasi umum.
Di beberapa daerah di Pulau Jawa mulai beroperasi Commuter Line untuk mempermudah mobilitas barang/jasa ataupun masyarakat.
Secara tidak langsung hal ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap pemanfaatan Go-jek dan Grab yang kita tahu sangat mempengaruhi arus
kemacetan lalu lintas. Jika upaya peningkatan kualitas layanan transportasi
umum ini ditingkatkan maka akan dengan signifikan menyaingi keunggulan
transportasi online.
Keempat, Menaikkan tarif pajak progresif di Kota-kota
besar. Kebijakan menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor akan berdampak pada
pengalihan ketergantungan masyarakat dari transportasi online dengan segala
kompleksitas permasalahannya kepada transportasi umum dengan segala
kebermanfaatannya. Tentunya kebijakan ini dibarengi dengan percepatan
peningkatan dan kuantitas transportasi publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar