1.
LATAR
BELAKANG
Pemilihan
Umum merupakan wujud dari sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Dengan mendasar pada cita-cita nasional yang termaktub dalam pembukaan dan
ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa
"Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar" maka pemilihan umum oleh
rakyat secara langsung, umum, bebas, jujur, rahasia dan adil dianggap sebagai
buah dari demokrasi yang sejak dulu diperjuangkan hingga lahir lah berbagai
pola penyelenggaraan pemerintahan demokratis diantaranya adalah pemilihan
langsung oleh rakyat.
Makna
langsung dari slogan ‘Kedaulatan Rakyat’ tersebut mengisyaratkan bahwa rakyat
diberikan hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kedaulatan untuk memilih pemimpin
secara demokratis. Wujud dari kedaulatan rakyat juga dimaknai dengan kebebasan
bagi rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpin melalui Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung. Ketentuan ini dimaksudkan agar kedaulatan
rakyat dalam bingkai demokrasi benar-benar direalisasikan sehingga bangsa
Indonesia menjadi negara yang secara riil
membuktikan telah menjungjungtinggi nilai-nilai demokrasi.
Indonesia
memang punya sejarah kelam terkait pelaksanaan demokrasi yang menyentuh pada
kekerasan politik seperti yang terjadi pada tahun 1997 yang menelan korban
hingga 234 jiwa sebagai korban kekerasan politik (Trijono, 1997 ) . Akan tetapi, pasca penggantian rezim
dari orde baru ke era reformasi, kemudian lahirlah sistem pemilihan langsung
oleh rakyat maka secara perlahan kekerasan politik mulai berkurang karena
slogan kedaulatan rakyat semakin terealisasi di lapangan.
Tujuan
untuk mencapai cita-cita demokrasi tersebut pada awal mulai diterapkannya
sistem pemilihan langsung berjalan dengan lancar yang dilaksanakan pada tahun
2004 dimana Indonesia pada saat itu baru mulai menerapkan sistem baru ini yang
sebelumnya suara rakyat dalam memilih pemimpin diwakilkan oleh para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Walaupun tetap ada gesekan-gesekan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat pasca pelaksanaan pemilu, Indonesia tetap
dikategorikan berhasil memulai pola baru pemilihan pemimpin, begitupun pada
Pemilu 2009 dan 2014.
Konflik
pasca pemilu bukanlah barang baru yang muncul, di beberapa negara yang menganut
sistem demokrasi khususnya negara berkembang sangat rentan terjadi konflik
serupa seperti halnya di Honduras yang merupakan salah satu negara yang
terletak di Amerika Tengah juga mengalami konflik pasca pemilu yang menewaskan
11 korban jiwa dan 15 luka-luka pada tahun 2017. Begitupun di Kenya, berangkat
dari kecurigaan masyarakat terhadap kecurangan penghitungan suara maka terjadi
demostrasi yang berakhir ricuh sehingga menyebabkan 1300 tewas dan 600.000 jiwa
mengungsi pada tahun 2007 (Debora, 2017)
Seperti
yang terjadi pasca agenda pemilu sebelumnya, selalu ada unjuk rasa yang
mengatasnamakan pihak tertentu yang merasa dirugikan dari hasil penghitungan
suara oleh Komisi Pemlihan Umum (KPU) untuk menuntut keadilan yang dirasa belum
terlaksana dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, pada pemilu 2019 ini terjadi
peristiwa yang lebih kompleks yaitu unjuk rasa yang berujung pada kericuhan
yang melibatkan ratusan massa, mengakibatkan korban jiwa, ancaman pembunuhan terhadap
beberapa tokoh nasional (Halim, 2019)
hingga munculnya kembali isu referendum di Aceh (BBCNews, 2019) . Disamping itu, ancaman terhadap
kemanan dan stabilitas nasional juga muncul akibat konflik ini, tentu hal ini
akan berpengaruh pada kondisi perekonomian makro yang dikhawatirkan akan
memburuk.
Walaupun
konflik dan kericuhan selalu terjadi setiap kali diselenggarakannya agenda
pemilu, namun konflik dan kericuhan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap
sebagai hal yang mainstream dan boleh
diabaikan begitu saja karena jika terus terjadi pembiaran tanpa solusi yang
berarti maka kemungkinan besar pada agenda pemilu berikutnya permasalahan
serupa akan terus terjadi dan bisa saja mengakibatkan dampak buruk yang lebih
besar hingga akhirnya kenyataan ini menggambarkan kegagalan praktik demokrasi
di Indonesia.
Kajian
serta analisis yang mendalam terlebih kepada penyebab dan faktor utama
terjadinya konflik tersebut amatlah penting. Maka tulisan ini nantinya akan
memaparkan beberapa penyebab pokok terjadinya konflik tersebut yang tidak lain
disebabkan oleh timbulnya rasa ketidakadilan pada masyarakat karena pada
tataran pelasaknaannya, pemilu yang jujur, adil, bebas dan transparan jauh dari
kenyataan.
Terdapat
juga sisi yang tidak kalah penting yang mungkin jarang tersentuh dari para
pakar yang sering berdikusi dan membahas alternatif solusi yang tepat dalam
menjawab polemik konflik pasca pilpres ini yaitu reformasi pola pemilihan umum
dengan tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi yaitu kedaulatan
ditangan rakyat. Solusi yang penulis tawarkan nantinya diharapkan dapat
memberikan cara baru yang lebih efektif untuk menjawab ketidakadilan yang
selama ini terus mencuat setiap kali pelaksanaan agenda pilpres.
Upaya
untuk memberikan solusi terbaik mengenai bagaimana seharusnya pemerintah –
sebagai pemangku kepentingan yang paling berwenang – bertindak untuk mengatasi
permasalahan ini amatlah penting sehingga status sebagai negara berkembang
bukan lagi menjadi alasan ketidakberdayaan bangsa ini dalam menjalankan sistem
demokrasi yang ideal.
Berangkat
dari hal tersebut, pembahasan dalam paper ini penulis merangkum beberapa poin
permasalahan terkait kondisi negara pasca pemilihan presiden dan wakil presiden
dengan mengkaji penyebab utama konflik/kericuhan ini terjadi dan Bagaimana
Alternatif Solusi yang tepat untuk mengatasinya.
2. RUMUSAN MASALAH
Subarsono (2013) mengemukakan bahwa ada
empat tahapan yang dapat dipandang sebagai proses perumusan masalah, yaitu : Problem research (pencarian masalah), problem defenition (pendefenisian
masalah), sproblem specification (Spesifikasi
masalah) dan problem sensing (pengenalan
masalah). Lebih jelas, Subarsono dalam Dunn (2003) menggambarkan tahapan
perumusan masalah dalam alur gambar berikut :
Perumusan masalah diawali dengan
mengenali situasi masalah yaitu situasi yang menggambarkan adanya rasa ketidakpuasan
dan sesuatu yang tidak berada pada jalur yang seharusnya Subarsono (2013). Pada
pembahasan tentang konflik pasca pilpres ini dimulai dengan pengkajian beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh
beberapa pihak terlebih kubu yang merasa dirugikan dengan keputusan Komisi
Peilihan Umum (KPU). Ketidakadilaan tersebut berimbas dari dugaan kecurangan
oleh rival salah satu pasangan calon dan penyelewengan kewenangan oleh lembaga
penyelenggara pemilihan umum tersebut.
2.2 Isu Pokok Penyebab Munculnya
Gejolak Pasca Pilpres
Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemerintah memang selalu menghadapi berbagai tantangan yang beragam dalam
rangka memberikan rasa adil di tengah-tengah masyarakat. Hal itu disebabkan
karena sistem pemilihan yang diterapkan saat ini sangat kompleks. Mengelola penduduk
yang berjumlah 260 Juta Jiwa dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) ±190 Juta Jiwa
khususnya dalam penyelenggaran pemilihan umum kepala negara yang jujur dan adil
bukanlah perkara yang mudah, terlebih lagi sistem penghitungan suara yang
sangat rumit karena harus memperhitungkan dengan detail setiap satu demi satu
suara rakyat sebagai bentuk keadilan yang merata. Perbedaan teritorial, budaya,
bahasa, agama dan ras masyarakat Indonesia juga semakin memperjelas rumitnya
bentuk keadilan yang merata tersebut.
Permasalahan
yang sering menjadi titik tolak terjadinya konflik pasca pemilihan presiden
adalah bahwa incumbent selalu
memanfaatkan sumber daya dan institusi negara untuk melakukan manipulasi demi
memenangkan kontestasi politik. Adapun pihak oposisi cenderung memboikot hasil
pemilihan dan mencurigai netralitas lembaga penyelenggara pemilihan umum dengan
melemparkan kecurigaan adanya intransparansi dan berbagai tindakan
penyelahgunaan wewenang lainnya (Gaku, 2018) . Situasi tersebut
merupakan kondisi yang biasa terjadi di negara-negara yang menerapkan sistem
demokrasi terlebih pada negara berkembang serperti Indonesia dan beberapa
negara lainnya.
Ketika
berbicara mengenai penggunaan fasilitas negara saat kampanye, pemerintah juga
telas mempertegas aturan terait hal ini yaitu ketentua Pasal 281 Udang-Undang
Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 61 Peraturan KPU Nomor 23 Tahun
2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum bahwa seorang presiden yang mengikuti
kegiatan kampanye mesti menjalankan cuti dan tidak diperkenankan menggunakan
fasilitas negara, kecuali fasilitas pengamanan. Begitu juga adanya kewajiban
cuti bagi incumbent ketika kampanye.
Sempat
jerjadi diskusi panjang terait adanya fasilitas negara yang masih dan tetap
digunakan oleh presiden yang saat itu mencalon karena dinilai telah melanggar ketentuan peraturan tentang
pemilu. Publik cenderung membandingkan aturan tersebut adalah sama dengan yang
biasa diberlakukan kepada Kepala Daerah yang mengikuti kampanye. Padahal sebenarnya
aturan yang berlaku bagi Presiden berbeda. Terdapat beberapa fasilitas negara
yang akan selalu melekat kepada presiden meskipun sedang melakukan kampanye
seperti fasilitas kemananan, kesehatan dan protokoler. Adapun mengenai cuti
bagi presiden adalah cukup dengan menyurati KPU untuk memberikan keterangan
jadwal kampanye, dengan surat tersebut seorang presiden dianggap sedang
melaksanakan cuti. Karena sejatinya jabatan presiden akan selalu melekat
kepadanya hingga akhir masa jabatan meskipun yang bersangkutan melakukan
kegiatan kampanye (Junita, 2019) .
Melihat dari sisi-sisi berupa
tindakan klasik incumbent yang
dikemukakan oleh Gaku (2018) tersebut jika dibenturkan kepada praktik politis
di Indonesia maka banyak hal-hal negatif dari informasi yang tidak benar yang
banyak disasarkan kepada pemerintah. Karena berdasarkan analisis penulis
terhadap kenyataan yang terjadi di lapangan amatlah berbeda dengan berbagai isu
negatif yang berkembang di masyarakat. Maka pada momen agenda pemilihan
presiden dan wakil presiden ini pemerintah perlu memberikan informasi yang
jelas dan terang kepada masyarakat untuk menghindari kecurigaan berupa
spekulasi negatif yang berujung kepada karya-karya hoax yang pada akhirnya akan merugikan salah satu kubu peserta
pilpres dan juga akan berimbas kepada masyarakat itu sendiri.
Kelalaian dalam menjawab setiap
potensi kecurigaan masyarakat kepada pihak pemerintah yang sebagian besarnya
dari sisi politis juga sebagai incumbent akan
berujung kepada perspektif negatif yang berkepanjangan di tengah-tengah
masyarakat dan seakan menjadi sumbu
kompor yang dengan mudahnya dinyalakan oleh pihak-pihak tertentu untuk
menciptakan api konflik antara pemerintah dan masyarakat atau sebagai bahan
amunisi bagi lawan politik sebagai alasan kuat untuk tidak menerima keputusan
yang dianggap merugikannya walaupun dari sisi ketentuan perundang-undangan
sudah tepat.
2.3 Sejumlah permasalahan pasca pilpres
Olga Khazan dalam
tulisannya yang berjudul What Causes Some
Elections to Go Violent?, menggambarkan bahwa sebaian besar permasalahan
pada pemilu kebanyakan terjadi di negara-negara berkembang. Baca juga: Lebih
lanjut Olga menuturkan bahwa dari polemik pasca pemilu yang mainstream pada negara berkembang
tersebut ; ada tiga hal pemicu utama permasalahan berikutnya yang terjadi pasca
Pemilu, diantaranya : Kecurangan dalam menentukan hasil pemilu, anggapan bahwa
pihak tertentu dari calon pemimpin tersebut memanfaatkan fasilitas negara, serta
aggapan bahwa kekerasan adalah cara terbaik untuk mendapatkan banyak dukungan. Tiga
pemicu tersebut terjadi dikerenakan minimnya trasnparansi lembaga penyelenggara
pemilu (KPU) dan lemahnya law inforcement
di negara tersebut Saat polarisasi politik menguat dan memanas karena
Pemilu yang sangat ketat dan gaduh, kinerja lembaga pemilihan umum yang buruk
sangat mungkin memicu ledakan konflik yang bisa berdarah-darah (Debora, 2017) .
Pasca pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden terdapat beberapa masalah yang krusial dan membutuhkan perhatian yang lebih dalam dari masing-masing stakeholder baik pemerintah, pihak swasta, akademisi maupun masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah amat penting dalam men-caunter potensi-potensi negatif yang dapat memperburuk dan memperkeruh kondisi keamanan bangsa Indonesia itu sendiri. Berdasarkan kajian literatur beserta data dan informasi aktual yang diperoleh dari media cetak dan elektronik, maka diperoleh beberapa permasalahan yang timbul pasca pilpres 2019, diantaranya :
Pasca pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden terdapat beberapa masalah yang krusial dan membutuhkan perhatian yang lebih dalam dari masing-masing stakeholder baik pemerintah, pihak swasta, akademisi maupun masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah amat penting dalam men-caunter potensi-potensi negatif yang dapat memperburuk dan memperkeruh kondisi keamanan bangsa Indonesia itu sendiri. Berdasarkan kajian literatur beserta data dan informasi aktual yang diperoleh dari media cetak dan elektronik, maka diperoleh beberapa permasalahan yang timbul pasca pilpres 2019, diantaranya :
2.3.1
Kericuhan berujung korban jiwa
Pasca
terlaksananya pemilihan presiden pada 17 April 2019, muncul konflik di
tengah-tengah masyarakat yang diindikasikan sebagai kelompok yang tidak
menerima hasil keputusan KPU yang memenangkan Pasangan Jokowi-Ma’ruf. Hasil
keputusan KPU tersebut dianggap megandung banyak unsur manipulasi data yang
menguntungkan pihak pasangan calon tertentu. Tidak ubahnya seperti peristiwa
pada 2014 lalu, kali ini KPU dituntut.
Konflik
tersebut berawal dari unjuk rasa yang berakhir ricuh, karena beberapa orang
dari peserta demonstrasi tersebut dicuraigai telah siap untuk menembak empat
pejabat negara yaitu Wiranto (Menko
Polhukam), Pak Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman), Kepala BIN (Budi
Gunawan) dan Gories Mere (Purnawirawan POLRI) (Merta, 2019). Pihak kepolisian
terus melakukan upaya pencarian terkait dalang kerusuhan tersebut sementara
korban tewas pasca kerusuhan tersebut hingga saat ini (13/06) berjumlah 9
orang. Pihak kepolisian menyatakan bahwa para korban tewas tersebut merupakan
dalang kerusuhan 21-22 Mei (Santoso, 2019) .
Spekulasi
lebih lanjut kemudian bermunculan, sejak pernyataan pihak kepolisian tentang
para korban tewas tersebut bahwa tidak ada keterangan identitas dan penyebab
kematiannya. Padahal dari keterangan pihak medis yang menangani para korban
tersebut menyatakan bahwa dua diantara mereka tewas karena tertembak peluru
tajam (Nathaniel, 2019) . Jadinya pihak kepolisian terkesan
menutupi identitas dan penyebab kematian tersebut. Timbul kecurigaan dari
masyarakat terhadap tindakan yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ditambah
lagi beberapa video di media sosial secara umum memperlihatkan beberapa pria
berseragam yang dicurigai mirip dengan seragam para aparat kepolisian
meluncurkan tembakan dengan peluru tajam kepada para pengunjuk rasa pada
tanggal 21-22 Mei.
2.3.2 Isu separatisme
Tiga bulan pasca
terlaksananya Pilpres, Pada tanggal 03 Juni 2019 lalu sempat terciut isu
referendum kembali rakyat Aceh yang diutarakan oleh salah satu tokoh Aceh yang
sempat menduduki jabatan wakil Gubernur periode 2012-2017 yaitu Muzakkir Manaf
dalam salah satu forum yang dihadiri oleh unsur forum komunikasi pimpinan
daerah (Forkopimda) Aceh. Muzakkir menganggap Pemerintah telah gagal dalam
menyejahterakan masyarakat dan membangun bangsa serta potensi besar penjajahan
pihak Asing yang akan menyasar ke Indonesia. Untuk itu, Muzakkir yang di-support oleh mayoritas mantan panglima
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hadir dalam forum tersebut meminta agar
pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh melakuakn referendum
layaknya Timor-Timur sebelumnya untuk memilih apakah tetap menjadi bagian dari
NKRI atau memisahkan diri dan membentuk negara sendiri (Ariefana, 2019) .
Menjawab wacana yang dianggap sebagai isu munculnya
kembali gerakan separatisme tersebut pemerintah melalui menteri pertahanan
menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengaminkan permintaan yang disampaikan
oleh Muzakkir Manaf tentang referendum Aceh. Kedaulatan Negara akan terus
dijaga secara utuh dari Sabang sampai Merauke (Munawir, 2019) . Tentu saja isu referendum ini bukanlah
sebuah solusi terhadap permasalahan yang oleh Muzakkir dianggap sebagai masalah
besar yang dihadapi bangsa seperti penjajahan asing, kegagalan pemerintah dan
apapun yang dijadikannya alasan untuk memulai kembali luka lama rakyat Aceh
ini. Hal yang juga dikhawatirkan jika pemerintah tidak segera menghentikan
upaya untuk menggadang-gadangkan kembali isu referendum ini adalah bahwa
beberapa wilayah lain juga bisa akan terpengaruh kemudian memunculkan isu yang
sama sehingga akan memperkeruh kondisi keamanan bangsa dan mencederai harga
mati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai bentuk keseriusan dalam menjaga keutuhan NKRI,
mestinya alarm early warning system kita
terhadap potensi-potensi yang dapat mencederai NKRI harus tetap dijaga. Karena
dalam situasi yang rentan terhadap konflik dan ancaman keamanan pasca pilpres
ini, banyak pihak-pihak yang memang sengaja menunggangi situasi yang kurang
kondusif ini sebagai momentum untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi
dan golongan yang dapat merusak keutuhan bangsa dan negara. Untuk Aceh secara
khusus harus terus dilakukan pengawasan dan perhatian yang lebih instens demi
upaya menjaga stabilitas dan kemananan negara.
Perjanjian
Memorandum of Understanding (MoU)
Helisinky, Pemberian Dana Otsus, Legitimasi Aturan Lokal berupa Syariat Islam
di Aceh, Kewenangan membentuk partai lokal Aceh dan berbagai perlakuan khusus
dari bangsa Indonesia untuk Aceh merupakan rangkaian kehormatan yang sangat
spesial diberikan pemerintah kepada Aceh yang tidak semua daerah memilikinya.
Artinya permasalahan Aceh yang belum mampu bersaing sesungguhnya ada pada diri
mereka sendiri dalam mengelola sumber daya yang ada. Karena itu, isu referendum
adalah retorika yang sangat kurang etis dan tidak tepat dimunculkan kembali.
2.3.3 Ancaman terhadap stabilitas politik dan kemananan negara
Ancaman
terhadap stabilitas politik dan kemananan bangsa Indonesia pasca pilpres 2019
dapat dilihat dari beberapa peristiwa yang terjadi khususnya di pusat Ibu Kota
yaitu Jakarta. Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi titik pusat
pengamanan karena isu people power yang
sempat digadang-gadangkan bermuara sejak pengumuman hasil penghitungan suara
lembaga yang diberikan kewenangan menganalisa hasil pilihan rakyat
terebut.
Beberapa bulan sebelum pengumuman
resmi hasil penghitungan suara oleh KPU, pihak pengusaha/investor juga sempat
mewanti-wanti potensi ancaman terhadap stabilitas politik dan ekonomi
Indonesia. Seperti yang dikutip oleh CNBC (2019) bahwa pernyataan Direktur
Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana tentang
kekhawatirannya terhadap ancaman teroris, demonstrasi anarkis dan rencana
pengeboman kiranya dapat diatasi oleh aparat penegak hukum. Karena pada
dasarnya investor akan sangat mempertimbangkan stabilitas politik suatu negara
sebelum memulai ataupun melanjutkan operasionalisasi perusahaannya di negara
tersebut dalam hal ini Indonesia. Kekhawatiran ini pun dijawab oleh tindakan
preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan menangkap 29 teroris yang
berencana akan melancarkan serangan pada tanggal 22 Mei 2019 (Hastuti, 2019)
Ketiga
permasalahan yang timbul pasca pilpres di atas yaitu kericuhan, isu separatirme
serta ancaman stabilitas dan kemanan negara merupakan polemik bangsa yang
membutuhkan reaksi cepat dan tepat dari pemerintah selaku stakeholder utama untuk memberikan solusi yang dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan yang bermuara dari lemahnya penegakan hukum dan Indikasi
lembaga penyelenggara Pemilu (Baca: KPU) yang tidak transparan. Oleh sebab itu,
perlu kiranya dilakukan evaluasi terhadap para penegak hukum dan KPU untuk
lebih mengedepankan tujuan orgnisasi yang sesungguhnya agar
permasalahan-permasalahan seperti yang dikemukakan di atas dan juga
permasalahan baru yang mungkin muncul kedepan tidak terjadi lagi.
Berangkat
dari situasi masalah yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya, maka untuk lebih
mempermudah dalam merumuskan masalah berikut ilustrasi tahapan perumusan masalah sebagaimana
digambarkan oleh Subarsono (2013) dalam bukunya yang berjudul Analisis
Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi.
Gambar
2.1 : Tahapan Perumusan Masalah Konflik Pasca Pilpres
TAHAPAN
|
ILUSTRASI
|
Pengenalan
Masalah
SITUASI
MASALAH
|
Pemilihan
Langsung Presiden dan Wakil Presiden selalu berimpilkasi pada
konflik/kericuhan di tengah-tengah masyarakat yang tidak jarang menimbulkan
korban jiwa
|
Pencarian
Masalah
META
MASALAH
|
1. Kericuhan
yang berujung korban Jiwa
2. Isu
Separatisme
3. Ancaman
terhadap stabilitas dan kemanan negara
|
Pendefenisian
Masalah
MASALAH
SUBSTANSIF
|
1. Dari
Aspek politik pemerintah menghadapi gangguan pada stabilias negara akibat isu
perpecahan bangsa dan separatisme;
2. Dari
Aspek Finansial kucuran dana yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemilu;
3. Dari
Aspek Ekonomi, investasi kepada negara selalu dalam tren menurun paska
terselenggaranya pilpres.
|
Spesifikasi
Masalah
MASALAH
FORMAL
|
Dengan
mendasarkan situasi maslah, meta masalah, dan masalah substansif seperti yang
diuraikan di atas, maka Pola Pemilihan Umum sebaiknya berada pada otoritas
siapa? Apakah pola Pemilu tetap berada pada rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dengan metode Electoral Collage atau
dengan sistem lain?
|
Sumber : Subarsono
(2013) dan data diolah
2.4 Analisis
Hierarki dalam Perumusan Masalah Konflik Pasca Pilpres
Agar
lebih mempertajam analisis dalam tahapan perumusan masalah konflik pasca
pilpres ini, maka penulis menggunakan metode analisis hierarki untuk mengenali step by step permasalahan guna mendapatkan
kemudahan informasi sebagai diagnosa permasalahan yang lebih detail untuk
kemudian dilakukan intervensi dengan berbagai alternatif kebijakan yang
solutif.
Analisis hirarki proses merupakan
salah satu metode dalam menyusun dan merumuskan masalah berdasarkan sebab-sebab
yang mungkin (possible causes), sebab
masuk akal (plaussible causes) dan
sebab yang dapat ditindaklanjuti (sctionable
causes) (Dunn, 2003) . Maka pada
rumusan masalah dalam topik ini secara hirarkis disusun sesuai jenjang
sebagaimana teori Dunn dengan penjelasan berikut.
Pertama (Possible Causes), Pada
tahapan awal mendiagnosa masalah yang selalu muncul – pasca terselenggaranya
agenda pemilihan umum khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden – adalah
konflik ataupun kericuhan di tengah-tengah masyarakat. Kericuhan/konflik ini
merupakan permasalahan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan karena polemik
ini selalu terjadi setiap selesainya agenda pilpres dalam empat kali periode
pemilihan langsung ini. Terlebih lagi pasca selesainya pemilihan presiden tahun
2019 ini dengan situasi yang tidak kondusif. Untuk itu, dibutuhkan solusi yang
aplikatif dan benar-benar dapat memberikan jawaban yang tepat untuk menjawab
permasalahan ini.
Kedua (plaussible causes). Setelah
mengenali fenomena yang muncul pasca pilpres yaitu konflik/kericuhan maka
penulis menganalisis sebab terjadinya konflik tersebut, diantaranya adalah
Instransparansi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rendahnya “trust” Publik terhadap law
inforcement, dan kurang Innetralitas Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).
Isu Instransparansi KPU.
Lembaga
penyelenggara pemilihan umum merupakan leading
sector utama yang selalu disoroti para stakeholder
khususnya pada aspek transparansinya. Pasca piplres, hasil quick count dari beberapa lembaga survey
pun bermunculan dengan berbagai hasil penghitungan yang variatif secara umum
menggambarkan pasangan calon (paslon) 01 mengungguli paslon 02. Tidak mau kalah
dengan lembaga survey, KPU sebagai institusi resmi penyelenggara pemilu juga
secara berkala menyampaikan hasil rekapitulasi suara melalui situs yang dapat
diakses oleh siapapun.
Meskipun demikian, upaya
transparansi yang ditunjukkan oleh KPU tersebut belum menjawab persoalan yang
dituduhkan kepadanya seperti beberapa kasus di sejumlah wilayah yaitu Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Kalimantan Utara yang
tidak melibatkan Bawaslu dan Saksi dalam kegiatan rekapituasi penghitungan
suara secara terbuka (Farisa, 2019) . Hal ini tentu menjadi persoalan serius
dan sangat wajar jika beberapa pihak menaruh curiga kepada KPU karena tidak
melibatkan unsur-unsur penting tersebut. Situasi ini diperparah dengan
keluarnya Keputusan Bawaslu Nomor 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 yang menyatakan
bahwa pihak KPU telah melanggar ketentuan administrasi pemilu terkait tata cara
penginputan Situng (Safitri, 2019) .
Keputusan Bawaslu tersebut
memperkuat perspektif negatif masyarakat terhadap lembaga KPU terlebih kepada
kubu 02 yang merasa dirugikan dengan hasil penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU dimana hasil tersebut menggambarkan kekalahan 02 terhadap 01 lebih
dari 10%. Instrasparansi KPU juga dinilai dari tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap waktu penyelenggaraan pemilu karena dalam beberapa kali survei di
daerah pemilihan oleh sejumlah lembaga survei bahwa hampir rata-rata di bawah
50 persen pemilih yang tahu jadwal pelaksanaan Pileg dan Pilpres (Armanto, 2019) . Tentu kondisi ini
dapat menimbulkan spekulasi dari pihak tertentu untuk dijadikan dasar dan alat
menyerang ketika salah satu paslon mengaku merasa dirugikan akibat sikap
instransparansi ini.
Rendahnya “trust” Publik terhadap Law Inforcement. Kepercayaan
publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan dari semua aspek adalah hal yang
sangat utama terlebih dalam hal penegakan hukum (Vigoda-Gadot , Cohen , & Tsfati , 2018 ) . Law Inforcement yang disoroti disini adalah lebih kepada
kepercayaan publik terhadap kepastian dan penegakan hukum dalam sistem pemilihan
umum yang diterapkan di Indonesia. Jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu,
pemerintah telah membentuk Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu). Tim ini
dibentuk dalam rangka menyamakan persepsi pola penanganan tindak pidana pemilu
yang dalam hal ini Bawaslu, Polri dan Kejaksaan Agung sebagai institusi yang
memiliki domain dalam pemilu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing.
Akan tetapi, dalam prakteknya
terlihat kinerja dari Tim Gakumdu ini dinilai sangat lemah karena masih banyak
terlihat hal-hal yang berbau resistensi terhadap ketentuan regulasi terkait
pemilu seperti penyalahgunaan sumber daya dan fasilitas negara, politisasi
birokrasi, dan berbagai hal yang seharusnya menjadi ranah yang dapat ditangani
oleh Gakumdu belum dapat teratasi dengan baik (Lazuardy, 2019) . Tidak maksimalnya kinerja Gakumdu
tersebut sangat berpengaruh terhadap kelancaran dan kesuksesan penyelenggaraan
pemilihan umum di Indonesia hingga tidak berlebihan jika ada yang menyatakan
bahwa buruknya kinerja Gakumdu tersebut juga menjadi bagian dari faktor-faktor
yang menyebabkan kericuhan yang berujung korban jiwa terjadi pasca pelaksanaan
pemilu. Tanpa bermaksud menjadikan kambing hitam, Gakumdu sebagai Tim yang
sejak awal berfungsi mencegah hal-hal buruk – yang seharusnya tidak terjadi ini
– seharusnya telah mengetahui dan mengkaji potensi kericuhan agar dapat
ditangani sebelum terjadi.
Innetralitas Bawaslu. Upaya
pemerintah dalam rangka optimalisasi fungsi bawaslu dari waktu ke waktu dapat
dilihat semakin membaik. Penguatan fungsi bawaslu mulai muncul ketika lahirnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Disamping itu, hal yang lebih mencolok tentang
penguatan fungsi bawaslu diatur dalam ketentuan Pasal 259 Undang-Undang Nomor
08 Tahun 2012 tentang Pemilian Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; bahwa keputusan Bawaslu
dalam menyelesaikan sengketa pemilu merupakan final dan binding.
Kewenangan
yang semakin besar yang diberikan kepada Bawaslu semestinya mengantarkannya
menjadi lembaga yang dapat dipercaya oleh semua lapisan masyarakat khususnya
dari aspek netralitasnya. Akan tetapi, dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya penyelenggara pengawasan pemilu ini dalam kontestasi pilpres 2019
lalu malah menunjukkan sikap innetralitas yang tidak semestinya dilakukan. Hal
ini terbukti ketika ditemukan lima belas Kepala Daerah hingga Menteri yang
menunjukkan sikap kecenderungannya kepada salah satu paslon presdien dan wakil
presiden di depan publik (Wartaekonomi.co.id, 2019) ; dimana seharusnya
para pejabat publik tersebut mengedepankan netralitas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menyikapi sikap para pejabat publik
tersebut, tidak ada tindakan sama sekali dari pihak Bawaslu dan terkesan
membiarkan pelanggaran itu terjadi. Sementara disisi lain, Kepala Daerah DKI
Jakarta pada konferensi nasional partai Gerindra yang sempat melakukan pose
jari yang dianggap menunjukkan sikap dukungan kepada salah satu pasangan calon malah
diproses oleh Bawaslu karena dianggap telah melanggar ketentuan pemilihan umum (Inews.id,
2019) .
Sikap yang ditunjukkan oleh Bawaslu tersebut menggambarkan innetralitas dalam menjalankan
kewenangannya sebagai institusi pengawasan pemilu. Maka hal-hal yang demikian
menjadi salah satu dari faktor-faktor yang dapat memancing kericuhan dan
konflik pasca pelaksanaan pemilu. Karena pihak-pihak tertentu akan mencatat
rapi peristiwa pelanggaran regulasi tersebut untuk kemudian dijadikan bahan
pendukung dokumen/bukti sebagai bagian dari bentuk innetralitas yang
menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu.
Ketiga Isu utama tersebut merupakan
hasil kajian mengenai beberapa metode dalam merumuskan masalah dengan metode
hierarkis berjenjang pada tahapan Plasussible
Causes atau oleh Thomas L. Saaty
menyebutnya dengan kriteria dalam Metode Analisis Hierarki Proses (Hamali, 2015) . Thomas lebih lanjut menjelaskan bahwa kriteria merupakan komponen cukup
penting yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Terhadap masalah yang bersifat
berjenjang dan kompleksitasnya tinggi, kriteria pun dapat diturunkan dalam
sub-sub kriteria untuk kemudian menjadi beberapa alternatif yang oleh Dunn
(2003) disebut dengan Actionable causes.
Ketiga (Actionable
causes). Terdapat beberapa alternatif pilihan yang penulis
tawarkan sebagai opsi kebijakan. Karena seperti umumnya diketahui bahwa tidak
ada regulasi yang paling benar dalam mengatur sistem pemilihan umum di negara
manapun, yang ada hanyalah regulasi yang lebih sesuai/cocok untuk diterapkan di
negara tersebut sesuai dengan kondisi kultur, budaya dan ciri khas karakter
dimana sistem itu diterapkan. Maka pada tahapan ketiga ini, dengan mendasar
pada tahapan pertama dan kedua kami menyimpukan tiga sebab yang dapat ditindak
lanjuti/actionable causes yaitu :
Mengembalikan Sistem Pilpres oleh DPR, Menggunakan Sistem Electoral College,
Persentasi suara per provinsi. Adapun penjelasan lebih detail mengenai tahapan Actionable Causes lebih lanjut dibahas
pada pembahasan Forcasting dan
Pengembangan Alternatif Kebijakan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih
detail mengenai Analisis Hierarki dalam pembahasan paper ini, penulis menyusun
tahapan-tahapan AHP dalam skema analisis hierarki sebagaimana yang digambarkan
oleh Dunn (2003), Subarsono (2013) dan Indiahono (2009).
Gambar
2.2 : Analisis Hierarki dalam perumusan masalah konflik pasca pilpres
|
3.
FORECASTING DAN PENGEMBANGAN ALTERNATIF
KEBIJAKAN
Tahapan
selanjutnya dalam menyusun dokumen analisis kebijakan publik adalah Forecasting. Forecasting/peramalan merupakan hal yang sangat penting dalam
membahas permasalahan publik karena dengan forecasting
dapat ditentukan informasi yang aktual tentang kondisi atau situasi di masa
yang akan datang atas dasar informasi yang diperoleh saat ini (Subarsono,
2013).
Lebih
lanjut, Dunn (2003) membagi forecasting
menjadi 3 jenis, yaitu : Proyeksi, prediksi, dan perkiraan. Untuk lebih
mempertajam analisis melalui tahapan forecasting
ini, penulis menggunakan metode
Prediksi untuk meramalkan secara teoritis mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi dan situasi di masa depan terkait potensi konflik dalam setiap
agenda pemilihan umum khususnya pemilu presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan hasil perumusan
masalah dengan metode analisis hierarki proses (AHP) seperti yang telah dibahas
pada sub bab sebelumnya bahwa pada tataran Actionable
Causes terdapat 3 (tiga) pilihan alternatif yang dapat ditindaklanjuti
yaitu : Mengembalikan Sistem Pilpres oleh DPR, Menggunakan Sistem Electoral College, Persentasi suara per
provinsi sebagai dasar Penghitungan Suara. Masing-masing alternatif tersebut
dipaparkan dengan menggunakan teori pengembangan alternatif kebijakan
sebagaiamana diungkapkan oleh Indiahono (2009) bahwa pengembangan alternatif
kebijakan dilakukan dengan mencari pilihan-pilihan kebijakan terbaik untuk
kemudian dijadikan atau diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah dan
perkara publik tertentu dengan pertimbangan beberapa aspek baik aspek
rasionalitas, politis, kelembagaan dan aspek-aspek lainnya. Pengembangan
Alternatif Kebijakan sangat penting
untuk lebih dahulu dilakukan guna mengkaji lebih dalam plus dan minus dari
masing-masing alternatif tersebut.
3.1 Mengembalikan Sistem Pilpres kepada DPR
Ide pengembalian
sistem pemilihan presiden dan wakil presiden ke tangan DPR merupakan salah satu
alternatif untuk menjawab fenomena kerusuhan yang terjadi pasca pilpres yang
menjadi pokok pembahasan paper ini. Karena tentu ketika kewenangan memilih itu
diserahkan kepada para perwakilan rakyat maka akan sangat memudahkan pengawasan
dan menghindari potensi kecurangan. Namun tentunya ide ini sangat rentan pada
perdebatan yang tentu akan sangat alot jika isu ini dimuncukan kembali di
tengah-tengah masyarakat. Pemilihan Presiden oleh DPR tentu memiliki dampak
positif dan negatif yang apabila kita secara objektif memberikan penilaian
terhadap cost dan benefit sistem ini, maka pola pikir baru
yang bisa saja akan memberikan solusi terhadap permasahan konflik pasca pilpres
ini.
Dilihat dari sisi efisiensi, tentu pemilihan presiden oleh
DPR akan memangkas biaya yang sangat besar dan dapat menghemat pembiayaan
negara triliunan rupiah sebagaimana yang dikemukakan oleh Agung Widianto
(Anggota Pansus RUU Pemilu Fraksi Golkar) bahwa jika dianalisa anggaran yang
disusun pada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu akan
ditemukan bahwa biaya pemilu mencapai Rp 100 Triliun (Wiryono, 2017) . Begitupun dari sisi kelembagaan,
seperti umumnya diketahui bahwa lembaga DPR diisi oleh para
perwakilan-perwakilan rakyat dari semua daerah yang ada di Indonesia,
eksistensi mereka menggambarkan eksistensi rakyat, persetujuan mereka
menggambarkan persetujuan rakyat, penolakan mereka merupakan penolakan rakyat
bahkan tutur kata, tingkah laku dan sikap mereka sejatinya merupakan cerminan
dari rakyat. Maka, jika dilihat dari sisi teroritis bahwa pengembalian
kewenangan memilih presiden kepada DPR merupakan hal yang wajar dan sangat
konstitusional karena apapun keputusan mereka terhadap pilihan pemimpin negeri
ini merupakan gambaran pilihan rakyat.
Namun, selalu saja apa yang tertulis di atas kertas tidak
sama dengan yang digariskan dalam kehidupan nyata. Sekian banyak penyelewengan
kewenganan dan perilaku buruk yang digambarkan oleh mayoritas para yang
terhormat anggota DPR baik pada level pusat maupun daerah tidak lagi
menunjukkan hakikat mereka sebagai penyambung lidah rakyat. Bahkan sekian
banyak dari mereka menciderai kepercayaan rakyat dengan melakukan berbagai
tindakan pelanggaran kode etik dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Banyak pakar yang mengemukakan bahwa pemilihan presiden oleh DPR justru akan
melahirkan permasalahan baru yang lebih besar dan cenderung mengakibatkan dampak
negatif bagi keberlangsungan negara.
Hatred of
Democracy diramalkan akan sangat berpotensi
terjadi karena dengan mendasar kepada pengkhianatan demi pengkhianatan kepada
rakyat yang banyak dilakukan oleh para oknum perwakilan rakyat tersebut, maka
bisa saja efek dari hasil pemilihan presiden nantinya akan menjadi ajang politics of revenge (politik balas
dendam) yang terjadi di parlemen yang tidak dapat dikendalikan bahkan oleh
partai politik (Sunardi, 2014) . Artinya, alternatif berupa
Pengembalian ke DPR ini belum dapat menjawab permasalahan penyebab konflik
tersebut,
Pengembalian
kewenangan pilpres ke DPR mungkin bisa menjadi keputusan yang tepat jika
revolusi mental bagi para anggota DPR benar-benar berhasil terinternalisasi.
Pastinya perkara ini mesti dibuktikan dengan meningkatnya kepercayaan publik
terhadap lembaga ini. Hal ini dapat dilakukan ketika tindak
penyelewengan-penyelewengan yang biasa dilakukan oleh para oknum tersebut
berkurang secara drastis. Begitupun ketika para Anggota DPR dapat
mempersembahkan kinerja terbaiknya sebagai lembaga legislatif yang dapat
mengarahkan pihak eksekutif kepada tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan
yaitu kesejahteraan masyarakat.
3.2
Sistem Electoral
College
Sistem
Electoral Collage yang saat ini
dipakai oleh negara seperti Amerika merupakan pola pemilihan langsung yang
diwakili oleh para anggota senat/elector. Calon Presiden yang memenangkan suara
dari perolehan electoral collage
menjadi pemenang dalam kontestasi ini walaupun secara voting populer suaranya tidak lebih unggul daripada rivalnya (Christiatuti, 2016) . Meskipun tidak sama persis, Indonesia sendiri
kurang lebih pernah menerapkan sistem serupa pada tahun 1999 dimana anggota DPR
memiliki kewenangan untuk menggunakan hak suara dalam menentukan presiden.
Namun lima tahun setelahnya diterapkan pola baru dalam pemilihan presiden yaitu
sistem proporsional terbuka atau yang lebih dikenal dengan pemilihan langsung
oleh rakyat.
Akan
tetapi, seiring dengan berjalannya waktu dan belajar dari berbagai realita
serta peristiwa-peristiwa yang cenderung negatif yang terjadi dilapangan akibat
dari inefektivitas implementasi sistem baru dalam pemilihan presiden dan wakil
presiden ini, maka sistem yang ada tersebut semakin terlihat tidak lagi relevan
untuk diterapkan. Terlebih pasca pemilihan presiden 2019 yang baru beberapa
bulan terlaksana juga menimbulkan kompleksitas problematika yang bersifat
klasik dan kontemporer yang tidak kunjung selesai.
3.4 Persentasi Suara Per-Provinsi
Ada
sebuah slogan yang tidak asing terucap di lingkungan masyarakat Indonesia
khususnya penduduk luar jawa, yaitu : “selama
sistem pemilihan langsung tetap seperti ini, maka orang jawa akan terus
menguasai negeri ini”. Ungkapan ini sebenarnya tidak keliru karena pada
kenyataannya kita bisa melihat bahwa penduduk Indonesia yang berada di Pulau
Jawa merupakan setengah dari jumlah penduduk secara keseluruhan.
Realitas di lapangan menggambarkan bahwa
seakan suara dari beberapa provinsi/wilayah yang memiliki jumlah penduduk
sedikit tidak berarti banyak dalam memberikan kontrubsi hak pilih masyarakatnya
dalam kontestasi pemilu ini. Terang saja, penduduk Indonesia yang berada di
Pulau Jawa pada tahun 2019 mencapai 150,4 Juta dari 266,91 Juta Jiwa (Katadata.co.id, 2019) . Untuk itu, sistem
pemilihan langsung seperti yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade
ini dirasa perlu untuk direformasi demi menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam sila ke 5 dari
Pancasila.
Dengan
pertimbangan bahwa kedudukan setiap provinsi sebagai Daerah Tingkat I yang
memiliki hak dan kewenangan yang sama antar masing-masing provinsi di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Karena itu, kedudukan tersebut sesuai dengan prinsip keadilan yang
secara konstitusional telah ditegaskan dalam ketentuan pasal 22E Undang-Undang
Dasar tahun 1945 yang intinya menerangkan bahwa masing-masing wilayah/provinsi memiliki
kesamaan dan hak untuk disetarakan sehingga perlu dipertimbangan pola persentasi suara disetiap provinsi
sebagai landasan utama penentuan hasil pemungutan suara presiden dan wakil
presiden. Misalnya saja, Capres A secara voting populer unggul 10% dari Capres B. Namun secara persentasi
provinsi Capres B lebih unggul 15%, maka yang berhak untuk mendapakan kursi
kepresidenan adalah Capres B.
Pola
seperti ini sangat memungkinkan untuk dipertimbangkan dalam kajian evaluasi
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Pemilu di masa yang akan datang karena
seperti yang umum diketahui bahwa “tidak
adalah sistem pemilu yang lebih baik, namun sistem yang baik adalah yang paling
sesuai diterapkan di negara tersebut” (Trijono, 1997 ) . Sistem ini
tetap mempertahankan inti dari demokrasi yang kita anut yaitu “Kedaulatan
berada di tangan Rakyat”, hanya saja peran kewilayahan sangat kuat karena
menjadi pertimbangan utama berdasarkan persentasi suara yang ada di wilayah
tersebut. Dari sistem ini, keadilan dan pemerataan dirasakan oleh masyarakat
yang sebagian besarnya menganggap bahwa tidak ada keadilan bagi wilayah dengan
penduduk sedikit dalam hal pemilihan kepala negara.
4. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Rekomendasi
kebijakan disusun untuk memberikan alternatif kebijakan yang dianggap paling
tepat diantara pilihan kebijakan yang lain. Terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan untuk memudahkan dalam menyusun rekomendasi kebijakan. Diantara
metode-metode tersebut, metode yang kami gunakan adalah Analisis Komparasi.
Metode ini digunakan untuk mengembangkan alternaif kebijakan dengan cara
membandingkan kebijakan-kebijakan yang pernah ditempuh sebelumnya dengan tujuan
memperkaya pengembangan alternatif kebijakan untuk rekomendasi kebijakan yang
terbaik (Indiahono, 2009 ) . Ada tiga jenis analisis dalam metode
komparasi ini salah satunya adalah komparasi kebijakan-kebijakan yang telah
ditempuh sebelumnya.
Pada
pembahasan forcasting sebelumnya,
penulis telah memaparkan secara eksplisit bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan
pola pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia dari masa
ke masa. Perubahan tersebut dilakukan tidak lain adalah sebagai upaya
melaksanakan kebijakan terbaik dan sesuai dengan perkembangan zaman, pola
pikir, situasi dan kondisi masyarakat Indonesia dan termasuk tujuan utama yang
tidak kalah penting adalah sebagai upaya mengurangi hingga menghapus segala
bentuk konflik dan kericuhan pasca pelaksanaan pilpres.
Berdasarkan
analisis terhadap tiga alternatif pilihan pola pemilihan presiden, yaitu
Pemilihan oleh DPR, Sistem Electoral
Collage dan Persentasi Suara Per-Provinsi. Maka dua diantaranya yaitu
Pemilihan oleh DPR dan Sistem Electoral
Collage merupakan sistem yang telah diterapkan di Indonesia dan terbukti
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat karena secara halus dan perlahan
sejatinya sistem tersebut keluar dari inti demokrasi sehingga pola pilpres pun
juga berubah dan dikembalikan langsung ke tangan rakyat dengan segala
kompleksitas permasalahannya yang tidak menunjukkan pada perubahan yang lebih
baik dan berarti.
Oleh
karena itu, Pola Persentasi Suara Per-Provinsi adalah solusi terbaik untuk
menjawab rentetan permasalahan tersebut dari sisi pola sistem penyelenggaraan
pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada tataran praktik, sistem ini
memang belum pernah diterapkan di Indonesia, meskipun demikian setidaknya
dengan disamaratakannya nilai suara berdasarkan persentasi pemilihan di setiap
provinsi akan memberikan rasa adil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Secara holistik
rakyat akan lebih merasa berperan dalam memberikan kontribusi pilihannya di
setiap agenda pemilihan umum khususnya pilpres.
Berangkat
dari hasil analisa masing-masing penyebab konflik pasca pilpres, maka penulis
menyimpulkan bahwa terdapat dua penyebab pokok dari sisi perspektif
penyelesaian masalah, yaitu perspektif teknis dan perspektif politis dimana
penulis dalam paper ini lebih menitikberatkan solusi dari perspektif politis.
permasalahan teknis tentunya lebih sederhana untuk diselesaikan daripada
masalah politis karena masalah teknis bersifat internal dari sisi pemerintah
sebagai penyelenggara negara sehingga cenderung lebih mudah diselesaikan.
Sedangkan permasalahan politis melibatkan berbagai stakeholder untuk mendapatkan persetujuan dan pandangan-pandangan
konstruktif guna mendukung solusi politis yang ditawarkan.
Seperti
yang dikemukakan sebelumnya mengenai beberapa sebab yang masuk akal (Paussible Causes) bahwa Instransparansi
KPU, Lemahnya penegakan hukum dan Innetralitas Bawaslu bahwa sebab-sebab tersebut
hanya memerlukan upaya-upaya teknis berupa reformasi birokrasi yang terukur dan
terstruktur. Namun secara politis, Reformasi pada tataran sistem ataupun pola
sangat dibutuhkan. Dalam hal ini Pola Persentasi Suara Per-Provinsi menjadi
pilihan yang penulis tawarkan karena ketika masyarakat merasa telah mendapatkan
rasa adil dari sisi kontribusi suara yang mereka berikan karena dianggap lebih berarti
karena adanya keterwakilan persentasi suara per provinsi maka permasalahan
teknis akan lebih mudah untuk diselesaikan.
5. KESIMPULAN
Sistem
pemilihan langsung oleh rakyat yang telah terlaksana selama hampir dua dekade
ini banyak memunculkan polemik baru yaitu konflik dan kericuhan hingga
memunculkan berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh instransparansi lembaga
penyelenggara pemilu, penegakan hukum yang lemah dan innetralias badan
pengawasan pemilu. Kondisi demikian memang sebagian pakar menganggap sebagai
fenomena yang biasa terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Namun permsalahan tersebut tidak lah menjadi alasan pembiaran tapa ada solusi
yang berarti. Tanggal 22-23 Mei merupakan puncak dari konflik dan kericuhan
Pilpres 2019 karena peristiwa tersebut menelan korban jiwa, memunculkan isu
referendum yang dianggap sebagai potensi kembalinya gerakan separatisme yang
patut untuk segera di atasi serta ancaman terhadap stabilitas dan keamanan
negara yang dapat memperlemah kondisi perekonomian negara secara makro.
Muncul
berbagai komentar dan diskusi panjang yang membahas terjadinya konflik pasca
pelaksanaan pilpres, terlebih pada pembahasan penyebab munculnya masalah ini.
Berbagai alternatif pun ditawarkan mulai dari bagaimana intitusi penegak hukum
bertindak, reformasi pada lembaga penyelenggara dan pengawas pemilihan umum dan
berbagai opsi kebijakan lainnya demi penyelenggaraan demokrasi yang lebih baik
kedepannya.
Dalam
menganalisis dan kemudian memberikan rekomendasi kebijakan. Penulis menitikbertkan
pada pola penyelenggaraan pemilu. Pada titik tersebut lah yang perlu dilakukan
reformasi karena hampir semua pola telah diterapkan, namun pola Persentasi Suara Per-Provinsi merupakan
bentuk reformasi yang mengedepankan keadilan secara holistik bagi masyarakat
Indonesia. Selain akan mempermudah pengawasan, pola ini juga akan mempersempit
potensi terjadinya konflik yang berangkat dari rasa ketidakadilan di
tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya,
penulis menyadari bahwa alternatif yang penulis tawarkan ini tentu sangat
membutuhkan kajian dan analisis yang lebih komprehensif guna memberikan
rekomendasi terbaik yang lebih rasional dan dapat menjawab
permasalahan-permsalahan pokok dalam penyelenggaraan pemilihan umum khususnya
pada aspek konflik pasca pemilu.
Daftar Pustaka
Ariefana, P. (2019, Mei 29). Heboh Mantan
Panglima GAM Serukan Aceh Referendum Lepas dari Indonesia. Retrieved Juni
10, 2019 , from Suara.com: https://www.suara.com/news/2019/05/29/113021/heboh-mantan-panglima-gam-serukan-aceh-referendum-lepas-dari-indonesia
Armanto, J. (2019, Februari 25). Kecewa,
KPU Tak Transparan. Retrieved Juni 14, 2019 , from Indopos.co.id:
https://indopos.co.id/read/2019/02/25/166696/kecewa-kpu-tak-transparan
BBCNews. (2019, Mei 31). Referendum
di Aceh: Tetap atau pisah dari Indonesia setelah Prabowo kalah, 'tak ada
dasar hukum' untuk digelar. Retrieved Juni 09, 2019 , from BBCNews:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48449524
Christiatuti, N. (2016, November
03). Mengenal Sistem Electoral College yang Rumit dalam Pilpres AS.
Retrieved Juni 13, 2019 , from Detiknews:
https://news.detik.com/internasional/d-3336361/mengenal-sistem-electoral-college-yang-rumit-dalam-pilpres-as
Debora, Y. (2017, Desember 11). Pemilu
yang Melahirkan Konflik dan Kekerasan. Retrieved Juni 08, 2019 , from
Tirto.id: https://tirto.id/pemilu-yang-melahirkan-konflik-dan-kekerasan-cBpR
Dunn, W. N. (2003). Pengantar
Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Farisa, F. C. (2019, April 09). Bawaslu
Sebut Proses Rekapitulasi DPT KPU Ada yang Tak Transparan. Retrieved Juni
14, 2019 , from Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/06563831/bawaslu-sebut-proses-rekapitulasi-dpt-kpu-ada-yang-tak-transparan
Gaku, O. (2018). ELECTORAL
CONFLICTS IN THE GAMBIA. Chungcheong Sel: KDI School of Public Policy and
Management.
Halim, D. (2019, Mei 24). 4
Fakta Korban Kerusuhan 22 Mei Versi Polri. Retrieved Juni 08 , 2019 ,
from Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/24/07455981/4-fakta-korban-kerusuhan-22-mei-versi-polri?page=1
Hastuti, R. K. (2019, Mei 19 ). Pusingnya
Pengusaha Karena Ancaman Bom dan Gejolak Politik. Retrieved from CNBC
Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190519161518-4-73447/pusingnya-pengusaha-karena-ancaman-bom-dan-gejolak-politik
Indiahono, D. (2009 ). Kebijakan
Publik berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogyakarta : Gava Media.
Inews.id. (2019, Januari 10). Pakar
Ilmu Politik UI: Bawaslu Sudah Tak Netral di Pilpres 2019. Retrieved Juni
16 , 2019 , from Inews.id:
https://www.inews.id/news/nasional/pakar-ilmu-politik-ui-bawaslu-sudah-tak-netral-di-pilpres-2019/425305
Junita, N. (2019, Maret 05). 3
Fasilitas Negara Bisa Digunakan Jokowi saat Kampanye. Retrieved Juni 16,
2019 , from Kabar24:
https://kabar24.bisnis.com/read/20190305/15/896406/3-fasilitas-negara-bisa-digunakan-jokowi-saat-kampanye
Katadata.co.id. (2019, Mei 14). Berapa
Jumlah Penduduk di Pulau Jawa pada 2019? Retrieved Juni 13, 2019 , from
Katadata.co.id:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/14/berapa-jumlah-penduduk-di-pulau-jawa-2019
Lazuardy, G. (2019, April 02). KIPP:
Penegakan Hukum Pemilu Tak Maksimal, Kepercayaan Publik Menurun.
Retrieved Juni 14, 2019 , from Tribunnews.com:
http://www.tribunnews.com/nasional/2019/04/02/kipp-penegakan-hukum-pemilu-tak-maksimal-kepercayaan-publik-menurun
Lipotan6.com. (2019, Mei 30). Mengapa
Sulit Ungkap Dalang Kerusuhan 22 Mei 2019? Retrieved Juni 10, 2019 , from
Liputan6.com:
https://www.liputan6.com/news/read/3979490/mengapa-sulit-ungkap-dalang-kerusuhan-22-mei-2019
Merta, P. (2019, Mei 28). Ini
Nama 4 Tokoh Nasional yang Jadi Target Pembunuhan Saat Kerusuhan 22 Mei.
Retrieved Juni 08, 2019 , from Liputan6: https://www.liputan6.com/news/read/3978105/ini-nama-4-tokoh-nasional-yang-jadi-target-pembunuhan-saat-kerusuhan-22-mei
Munawir. (2019, Mei 31). Muzakir
Manaf Serukan Referendum Aceh, Begini Komentar Menteri Pertahanan.
Retrieved Juni 10, 2019 , from Inikata.com:
https://inikata.com/2019/05/31/muzakir-manaf-serukan-referendum-aceh-begini-komentar-menteri-pertahanan/
Santoso, A. (2019, Juni 12). Investigasi
Tewasnya 9 Korban Rusuh 22 Mei Terkendala TKP yang Misterius. Retrieved
Juni 13, 2019 , from Detiknews: https://news.detik.com/berita/d-4583897/investigasi-tewasnya-9-korban-rusuh-22-mei-terkendala-tkp-yang-misterius
Subarsono. (2013). Analisis
Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Subarsono. (2013). Analisis
Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Trijono, L. (1997 ). Paradoks
Demokrasi di Indonesia : Kerusuhan pada masa kampanye 1997. Jurnal PSKP,
28.
Vigoda-Gadot , E., Cohen , N.,
& Tsfati , Y. (2018 ). Reforming the ntions; a global study of the need
for futurer managerial reforms in public administration. SAGE, 768.
Wartaekonomi.co.id. (2019,
Januari 10). Soal Kasus Anies, Bawaslu Tidak Netral. Retrieved Juni
16, 2019 , from Wartaekonomi.co.id: https://www.wartaekonomi.co.id/read210907/soal-kasus-anies-bawaslu-tidak-netral.html
Wiryono, S. (2017, Agustus 06). Anggota
Pansus: Kemungkinan Presiden Dipilih DPR, Jika.. Retrieved Juni 16, 2019
, from News:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/08/06/ou9feo330-anggota-pansus-kemungkinan-presiden-dipilih-dpr-jika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar