Oleh : Fauzan Hidayat
Sesuai dengan ketentuan Pasal 33
UUD 1945 nilai-nilai dasar perekonomian Indonesia adalah kerjasama, gotong
royong, kekeluargaan, dan keadilan. Sistem Ekonomi Pancasila yang mengandung
makna bahwa setiap kegiatan perekonomian berorientasi kepada kemakmuran rakyat.
Sistem ekonomi campuran juga disematkan dalam penerapan mekanisme pasar di
Indonesia dimana kapitalis dan sosialis dikawinkan dengan dalih agar keleluasaan
dan fleksibilitas dapat terjadi dengan syarat barang-barang yang dianggap
sangat penting bagi eksistensi negara dan dibutuhkan banyak orang tidak boleh
diserahkan kepada pihak swasta.
Namun pada prakteknya, kita dapat
menilai kapitalisme lebih dominan daripada sosialisme. Hal ini terbukti dari
kenyataan bahwa hampir setiap sumber daya alam yang ada di negara ini tidak
banyak yang dapat dikuasai negara baik disebabkan oleh unsur politik, ekonomi,
sosial maupun berbagai penyebab lainnya. Padahal SDA tersebut merupakan
komponen yang sangat penting bagi hajat hidup masyarakat yang seharusnya
dikuasai negara. Akan tetapi sudah sepatutnya kita menghargai upaya-upaya
pemerintah untuk kembali menguasai Sumber Daya Alam tersebut seperti PT.
Freeport yang saat ini sudah kembali ke tangan negara.
Perlu diketahui bahwa banyak
negara yang telah gagal dalam menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang berujung
pada kesimpulan umum bahwa sistem ini tidak relevan untuk diterapkan khususnya di
negara berkembang. Di sisi lain, kita juga belum bisa mengatakan bahwa
Indonesia telah gagal menerapkan sistem ekonomi pancasila karena pemerintah
saat ini sedang dalam proses menuju pencapaian visi dari sistem itu sendiri
yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedikit fokus kepada analisa
praktek sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia dengan merefleksikan dengan
perkembangan sektor transportasi yang saat ini telah memasuki era digitalisasi
bahwa kehadiran transportasi layanan on
demand seperti Go-Jek dan Grab di Indonesia perlu mendapatkan perhatian
khusus untuk dibahas dan dicarikan solusi darikompleksitas problematika yang
ada di dalamnya. Menyikapi hal ini terdapat 2 (dua) ekstrim yang berbeda
pandangan yaitu Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan.
Ekstrim kanan merupakan pihak yang
dengan serta merta mengapresiasi dan menyambut baik kehadiran transportasi
online ini -termasuk dalam hal ini Presiden dan Jajarannya dari Kementerian
Perhubungan- dengan mengesampingkan pembicaraan mengenai eksternalitas negatif
yang berpotensi ditumbulkan oleh eksistensi transportasi online ini.
Memang kenyataan yang saat ini
kita rasakan adalah bahwa kehadiran Go-jek dan Grab telah menciptakan segala
bentuk kemudahan melalui aplikasi smartphone
hanya dengan sentuhan jari maka semua kebutuhan bisa terpenuhi. Khususnya
transportasi online yang saat ini menjadi primadona di kota-kota besar di
Indonesia, belum lagi fitur-fitur tambahan yang menungganginya dalam satu
aplikasi seperti Go-Food, Go-Box,
Go-Glam, Go-Massage dan lain-lain.
Disisi lain, kehadiran perusahaan
aplikasi layanan On-Deman Gojek
berdasarkan Survei Lembaga Demografi FEB UI menyebutkan bahwa Go-Jek efektif
mengurangi pengangguran dan memberikan peluang kerja bagi masyarakat yang
sebelumya tidak bekerja dengan rincian 75 persen Driver Go-Jek lulusan SMA, 15
persen merupakan lulusan perguruan tinggi dengan rata-rata pendapatan mitra
pengemudi paruh waktu Rp3,48 Juta per bulan atau 1,25 kali lipat dibandingkan
rata-rata UMR di sembilan kota survei (Kompas,
22 Maret 2018).
Adapun Ekstrim kiri adalah mereka
yang melihat dari perspektif berbeda terhadap kemajuan teknologi di bidang
transportasi ini, mereka menganggap bahwa ini bukanlah awal kemajuan pembanguan
ekonomi, namun merupakan bentuk kapitalisme
murni, kolonialisme zaman now, awal kehancuran perekonomian bangsa,
dan berbagai stigma negatif sebagai
bentuk perbedaan pandangan menyikapi fenomena ini. Bagaimana tidak, selain
dampak positif yang ditimbulkan, berbagai permasalahan juga muncul mulai dari
ketimpangan pendapatan dengan pengemudi konvensional, meningkatnya kemacetan
lalu lintas, tidak adanya jaminan kerja bagi para driver hingga puncaknya adalah kekhawatiran terhadap kapitalisme
pasar yang akan terjadi dikarenakan investornya adalah Raksasa Perusahaan di
Dunia seperti Google, Tencent dan JD.com.
Para investor tersebut
menyuntikkan dana untuk Gojek sejumlah USD 4 Miliar atau setara dengan IDR 53 Triliun
(Selular.Id, 29 Jan 2018). Secara
logika ekonomi sederhana, tidak mungkin dengan cuma-cuma perusahaan sekelas Google
ataupun Tencent mau menggelontorkan sedemikian banyaknya saham untuk kemajuan
Go-jek tanpa ada motiv profit-oriented
dalam jangka panjang.
Kedua pandangan di atas bisa saja
terjadi. Namun, yang disayangkan adalah setiap kritikan yang disampaikan
khususnya dari ekstrim kiri baik itu
para pakar, akademisi, maupun praktisi ekonomi hanya berupa uraian kelemahan
dan keterbatasan pemerintah sebagai bentuk penilaian atas ketidakpedulian dalam
mewaspadai potensi buruk yang akan terjadi yaitu Kapitalisme Pasar.
Maka melalui media ini kami
sampaikan beberapa sumbangsih fikiran khususnya kepada pemerintah untuk
melakukan suatu upaya keterpaduan dengan masyarakat serta Perusahaan Go-Jek dan
Grab demi mewujudkan amanah konstitusi yaitu pemerataan ekonomi di setiap lini
kehidupan masyarakat Indonesia.
Peran Pemerintah
Pemerintah harus sigap dalam
menyikapi setiap permasalahan yang berpotensi menimbulkan dampak buruk terhadap
perekonomian bangsa. Dengan mengsampingkan bahwa setiap kritikan selalu bernuansa
politik khususnya di tahun menjelang pilpres ini. Isu kapitalisme kian
menggaung dan membutuhkan respon positif dan serius. Untuk itu beberapa hal
yang hendaknya menjadi fokus pengambil kebijakan dalam menyikapi hal ini adalah
:
Pertama, Memiliki data driver
online yang ter-up to date dan valid. Para driver online telah membentuk organisasi dengan menyebutnya ALIANDO
(Aliansi Driver Online). Organisasi ini dibentuk sebagai wadah untuk
memperjuangkan hak-hak driver online khususnya terhadap perusahaan.
Nah, disini pemerintah harus peka dan responsif plus bersedia merangkul eksistensi Aliando, darinya pemerintah akan
mendapatkan pijakan dasar untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam
menyelesaikan segala problematika dan persoalan di dunia transportasi online.
Kedua, Responsifitas terhadap investor. Sebenarnya hal ini
dibutuhkan bukan hanya untuk Investor Go-Jek atau Grab saja. Namun juga semua
investor yang berafiliasi di Indonesia. Setiap kerjasama antara kedua belah
pihak pasti ada poin-poin yang disepakati. Maka jika pemerintah dapat mengakses
setiap transaksi kerjasama apapun antara Indonesia –baik individu maupun
organisasi- dengan pihak investor maka tentu potensi Gap akan dapat terdeteksi dan ditemukan solusinya, Begitupun halnya
dalam nenunjukkan eksistensi pemerintah dalam transaksi kerjasama antara Go-Jek
dan Google, pemerintah harus resposif terhadap hal itu. Tidak sulit bagi
pemerintah untuk membuat suatu kebijakan agar setiap MoU harus dengan sepengetahuan pemerintah dan tentunya atensi
pemerintah disini tidak justru memperburuk iklim investasi yang ada. Maka isu
yang selama ini menjadi momok –Kapitalisme- akan segara dapat diramu
penangkalnya.
Ketiga, Optimalisasi fungsi transportasi umum. Saat ini di beberapa
daerah di Pulau Jawa mulai beroperasi Commuter
Line untuk mempermudah mobilitas
barang/jasa ataupun masyarakat. Secara tidak langsung hal ini akan mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan Go-jek dan Grab yang kita tahu
sangat mempengaruhi arus kemacetan lalu lintas. Jika upaya peningkatan kualitas
layanan transportasi umum ini ditingkatkan maka akan dengan signifikan
menyaingi keunggulan transportasi online.
Keempat, Menaikkan tarif pajak progresif di Kota-kota besar. ini
merupakan kebijakan terakhir yang tentu akan menimbulan kontroversi dari berbagai
kalangan. Semestinya jika telah dilakukan pengkajian mendalam terhadap
kebijakan ini dan memang hasilnya adalah manfaat yang lebih besar bagi
kepentingan umum maka pemerintah harus segera mengiplementasikannya. Kebijakan
menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor akan berdampak pada pengalihan
ketergantungan masyarakat dari transportasi online dengan segala kompleksitas
permasalahannya kepada transportasi umum dengan segala kebermanfaatannya.
Tentunya kebijakan ini dibarengi dengan percepatan peningkatan kualitas dan
kuantitas transportasi publik.
Masyarakat yang partisipatif
Hidup di era globalisasi merupakan
keniscayaan yang harus dihadapi dengan menyikapi segala perubahan dan
perkembangan teknologi informasi secara bijaksana. Masyarakat mau tidak mau harus
melek teknologi dan semestinya
menjadi bagian dari pengguna yang smart dalam
menfaatkannya.
Kepekaan tersebut juga harus
dibarengi dengan kesadaran akan potensi dampak buruk yang bisa ditimbulkan.
Maka sudah selayaknya masyarakat bersinergi dengan pemerintah khususnya dalam
merumuskan hingga melaksanakan kebijakan mengenai transportasi online ini.
Masyarakat mengambil peran dalam menyumbangkan buah fikiran dan ide-ide
kreatifnya kepada pemerintah baik melalui media-media yang ada maupun melalui
wakil rakyat (Baca: DPR) sebagai bentuk partisipasi dan aspirasi berupa masukan
dan kritikan plus solusi yang
membangun guna mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Sikap Perusahaan
Intensitas perusahaan dalam hal
komunikasi dengan masyarakat dan pemerintah melalui berbagai media tentu
merupakan bentuk upaya transparansi informasi yang baik. Dengan adanya
pemberitahuan tentang progres umum tentang eksistensi perusahaan akan menghapus
kecurigaan yang menimpa perusahaan itu sendiri. Melalui media tersebut perusahaan
dapat menjawab berbagai stigma dan persepsi negatif yang timbul. Dalam hal isu
tentang kapitalisme ekonomi transportasi, perusahan dapat memberikan penjelasan
dan keterangan yang belum diketahui baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Upaya ini sangat menguntungkan perusahaan itu sendiri dari sisi kredibilitasnya
karena akan memberikan umpan balik yang ideal berupa kenyamanan dan ketentraman
dalam menjalankan roda organisasinya.
Perusahaan juga semestinya
melihat dari sudut pandang positif dari setiap kebijakan yang diterapkan
pemerintah mengenai pengaturan dan penataan regulasi transportasi online.
Disini “trust” sangat dijunjung tinggi, bagaimana setiap pihak baik dari
pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat berintegrasi membangun keterpaduan dalam suatu sistem
perekonomian yang berlandaskan pancasila. Masyarakat dan Perusahaan yang
dilibatkan dalam pengambilan keputusan mendukung output kebijakan yang secara bersama diyakini dapat memberikan
kemanfaatan bagi masing-masing pihak. Pemerintah juga harus bisa menjaga
“trust” tersebut melalui penetapan kebijakan yang berorientasi kepada
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga iklim investasi yang baik.
Peran Akademisi
Konsep triple helix atau sinergi pemerintah, akademisi, dan industri
sangat penting dalam meramu kebijakan yang tepat untuk mencari solusi
permasalahan isu kapitalisme ekonomi transportasi ini. Akademisi khususnya
dalam upayanya untuk mengembangkan riset-riset akan sangat bermanfaat untuk
dijadikan dasar utama pengambilan keputusan yang tepat. Tanpa peran akademisi,
kebijakan terasa mentah dan akan terkesan sepihak. Sebaliknya, pemberdayaan
peran akademisi dalam memberikan hasil penelitian berupa data-data dan praktek
empiris yang dipadukan dengan teori-teori yang relevan hingga alternatif solusi
tentu akan menyumbangkan kemudahan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan
yang akan menguntungkan semua pihak atau win-win
solution.
Beberapa alternatif solusi di
atas hanyalah bagian kecil dari sejumlah tawaran kebijkan yang jauh lebih tepat
yang bisa muncul dari berbagai pakar ekonomi dan sosial. yang kami tekankan
dalam tulisan ini adalah bagaimana kepedulian kita terhadap bangsa khususnya
dalam menyikapi dilema transportasi online ini adalah kritikan yang berbasis
solusi. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar